TATA CARA SHALAT TAHAJUD DAN SHALAT DHUHA
Pertanyaan dari:
Isya Anshari, Jl. Kebun Karet "Pondok Rawa Indah"
No. 67 Banjar Baru - Kalsel
(disidangkan pada hari Jum’at, 23 Rabi'ul Awwal 1430 H /
20 Maret 2009 M)
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Saya ingin mengetahui
tata cara shalat tahajud dan shalat dhuha yang benar, atau sesuai dengan apa
yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw.
Demikian pertanyaan saya. Terima kasih atas
perhatiannya.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
Pertanyaan saudara mengenai tata cara shalat
tahajud dan tata cara shalat dhuha ini sudah dijelaskan dalam Himpunan
Putusan Tarjih, halaman 341-355, dan sebenarnya juga sudah pernah ditanyakan
kepada kami dan jawabannya dapat dilihat dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 3,
halaman 107-115 dan halaman 124-126 serta di rubrik Tanya Jawab Agama Majalah
Suara Muhammadiyah No. 22 tahun ke- 91/ 2006. Khusus mengenai tata cara shalat
tahajud, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga sudah
menerbitkan buku Tuntunan Ramadhan, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah.
Pada dasarnya shalat tahajud, shalat witir, qiyamu Ramadhan, dan qiyamu
lail adalah sama, yaitu sebelas rakaat (Berdasarkan HR. al-Bukhari dari
'Aisyah).
Sehubungan dengan itu, kami anjurkan saudara untuk
membaca kembali beberapa buku dan majalah tersebut. Namun demikian, dengan merujuk
kembali kepada sumber-sumber tersebut, tata cara shalat tahajud dapat
disimpulkan secara ringkas sebagai berikut:
1. Waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat
isya sampai sebelum waktu shubuh. (Berdasarkan HR. al-Bukhari dan Muslim dari
'Aisyah). Tetapi yang paling baik adalah pada sepertiga akhir malam
(Berdasarkan HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Jabir).
2. Shalat tahajud boleh dikerjakan secara
berjamaah (berdasarkan HR. Muslim dari Ibnu 'Abbas), dan boleh juga dilakukan
sendirian.
3.
Diawali dengan shalat iftitah dua rakaat. (Berdasarkan HR.
Muslim, Ahmad dan Abu Daud dari Abu Hurairah). Adapun cara melaksanakan shalat
iftitah adalah sebagai berikut:
a.
Sebelum membaca al-Fatihah pada rakaat pertama, membaca
do'a iftitah:
سُبْحَانَ اللهِ ذِي الْمَلَكُوْتِ وَالْجَبَرُوْتِ
وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
"Subhaanallaahi dzil-malakuuti wal-jabaruuti wal-kibriyaa’i
wal 'adzamah". Artinya: “Maha suci Allah, Dzat yang memiliki
kerajaan, kekuasaan, kebesaran, dan keagungan.”
b.
Hanya
membaca surat al-Fatihah (tidak membaca surat lain) pada tiap rakaat.
(Berdasarkan HR. Abu Daud dari Kuraib dari Ibnu 'Abbas). Adapun bacaan
lainnya seperti; bacaan ruku’, i'tidal, sujud dan lainnya sama seperti shalat
biasa.
c.
Shalat iftitah boleh dilakukan secara berjamaah maupun
sendiri-sendiri. (Berdasarkan HR ath-Thabrani dari Hudzaifah bin Yaman)
4. Setelah itu, melaksanakan shalat sebelas
rakaat. Beberapa hadis Nabi Muhammad saw menjelaskan bahwa shalat tahajud bisa
dilaksanakan dengan berbagai cara, di antaranya adalah:
a. Melaksanakan empat rakaat + empat rakaat +
tiga rakaat (4 + 4 + 3 = 11 rakaat). (Berdasarkan HR. Al-Bukhari dari 'Aisyah)
b.
Dua rakaat
iftitah + dua rakaat + dua rakaat + dua rakaat + dua rakaat + dua rakaat + satu
rakaat (2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 1 = 13 rakaat). (Berdasarkan HR. Muslim dari
'Aisyah).
5.
Pada shalat witir, hendaknya membaca surat al-A'la
setelah al-Fatihah pada rakaat pertama, surat al-Kafirun pada rakaat kedua, dan
al-Ikhlas pada rakaat yang ketiga. Setelah salam, sambil duduk membaca:
سُبْحَانَ
الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ (3x)
“Subhanal-malikil-qudduus.”
(3x)
Artinya: “Maha Suci (Allah), Dzat Yang Maha
Kuasa dan Yang Maha Suci.”,
dengan mengeraskan dan memanjangkan pada bacaan
yang ketiga, lalu membaca:
رَبِّ الْمَلائِكَةِ وَالرُّوحِ
“Rabbil-malaaikati
war-ruuh”.
Artinya: “Yang Menguasai para malaikat dan ruh.”
(Berdasarkan HR. al-Baihaqi, juz 3/ no. 4640;
Thabrani, juz 8/ no. 8115; Daruqutni, juz 2/ no. 2, dari Ubay bin Ka'ab. Hadis
ini dikuatkan oleh 'Iraqi)
6. Membaca do'a.
Di antara
do'a-do'a yang dibaca Rasulullah Saw. adalah:
a. Berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari dan
Muslim dari Ibnu 'Abbas:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ
فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي
نُورًا وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَأَمَامِي
نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا.
Artinya: “Ya
Allah, berikanlah di dalam hatiku cahaya, di dalam penglihatanku cahaya, di
dalam pendengaranku cahaya. Dan (berikanlah) cahaya dari sebelah kananku,
cahaya dari sebelah kiriku, cahaya dari atasku, cahaya di bawahku, cahaya di
depanku, cahaya di belakangku, dan berikanlah cahaya pada seluruh tubuhku.”
b. Berdasarkan riwayat Muslim dari 'Aisyah:
اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ
سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي
ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.
Artinya: “Ya
Allah, aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu, dan dengan
keselamatan-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari (siksa)-Mu. Aku
tidak dapat lagi menghitung pujian yang ditujukan kepada-Mu. Engkau adalah
sebagaimana pujian-Mu terhadap diri-Mu sendiri.”
c.
Berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari
Ibnu 'Abbas:
اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ
فِيهِنَّ أَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ
الْحَقُّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالنَّبِيُّونَ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ
حَقٌّ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ
وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْ لِي مَا
قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ أَنْتَ إِلَهِي لَا
إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ.
Artinya: “Ya
Allah, hanya bagi-Mu segala pujian, Engkau cahaya (penerang) langit dan bumi.
Hanya bagi-Mu segala pujian, Engkau Penegak langit dan bumi. Hanya bagi-Mu
segala pujian, Engkau Yang Mengatur langit dan bumi beserta isinya. Engkau
adalah Dzat yang haq. Janji-Mu adalah benar. Firman-Mu adalah benar. Perjumpaan
dengan-Mu adalah benar. Surga adalah nyata. Neraka adalah nyata. Para nabi
adalah benar. Hari kiamat adalah nyata. Ya Allah, hanya untuk-Mu aku berserah
diri. Hanya kepada-Mu aku beriman. Hanya kepada-Mu aku bertawakal. Hanya kepada-Mu aku kembali. Hanya atas
pertolongan-Mu aku berjuang. Hanya kepada-Mu aku mohon keadilan. Maka ampunilah
dosaku yang telah lalu dan yang akan datang, yang aku lakukan secara
sembunyi-sembunyi dan yang terang-terangan. Engkau adalah Tuhanku, tidak ada
Tuhan selain Engkau.”
Doa-doa tersebut bisa dibaca ketika sujud, setelah
membaca shalawat pada tasyahud akhir, atau ketika selesai shalat.
Sedangkan tata cara shalat dhuha (disebut juga
shalat awwabin) adalah sebagai berikut:
1. Dilaksanakan pada saat matahari sudah naik
kira-kira sepenggal atau setinggi tonggak (maksudnya bukan pada waktu matahari
baru terbit), dan berakhir menjelang masuk waktu zhuhur (Berdasarkan HR. Muslim
dari Ummu Hani’). Dalam Jadwal Waktu Shalat, waktu shalat dhuha dimulai sekitar
setengah jam setelah matahari terbit (syuruq).
2. Shalat dhuha dapat dilaksanakan sebanyak:
- Dua rakaat (berdasarkan HR. Muslim dari Abu
Hurairah).
- Empat rakaat (berdasarkan HR. Muslim dari 'Aisyah).
- Delapan rakaat dengan melakukan salam tiap
dua rakaat (berdasarkan HR. Abu Daud dari Ummu Hani’).
- Boleh dikerjakan dengan jumlah rakaat yang kita inginkan. Berdasarkan hadis:
عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي
الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللَّهُ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan
dari 'Aisyah, ia berkata; Rasulullah saw mengerjakan shalat dhuha empat rakaat
dan adakalanya menambah sesukanya.” (HR. Muslim)
Al-'Iraqi mengatakan
dalam Syarah at-Tirmidzi, "Aku tidak melihat seseorang dari
kalangan sahabat maupun tabi'in yang membatasi jumlahnya pada dua belas rakaat.
Demikian juga pendapat Imam as-Suyuti, dari Ibrahim an-Nakha'i; bahwa seseorang
bertanya kepada Aswad bin Yazid, "Berapa rakaat aku harus shalat
dhuha?" Ia menjawab, "terserah kamu". (Fiqh as-Sunnah,
jilid 1, hal 251, terbitan Dar al-Fath li al-'Ilam al-Arabi. Hadist-hadist
yang menyatakan jumlah rakaatnya dua belas tidak ada yang lepas dari cacat. (Subul as-Salam, juz 2, hal.
19, terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyah)
3.
Sebaiknya tidak dilaksanakan secara terus-menerus
setiap hari. Berdasarkan hadis:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ
قُلْتُ لِعَائِشَةَ أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّي الضُّحَى قَالَتْ لَا إِلَّا أَنْ يَجِيءَ مِنْ مَغِيبِهِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan
dari 'Abdullah bin Syaqiq, ia berkata: Aku bertanya kepada 'Aisyah,
"Apakah Nabi Saw. selalu melaksanakan shalat dhuha?", 'Aisyah
menjawab, "Tidak, kecuali beliau baru tiba dari perjalanannya.” [HR.
Muslim]
Syu'bah
meriwayatkan dari Habib bin Syahid dari Ikrimah, ia mengatakan; "Ibnu
'Abbas melakukan shalat dhuha sehari dan meninggalkannya sepuluh hari".
Sufyan meriwayatkan dari Mansur, ia mengatakan; "Para sahabat tidak
menyukai memelihara shalat dhuha seperti shalat wajib. Mereka terkadang shalat
dan terkadang meninggalkannya". (Zad al-Ma'ad, juz 1, hal
128, terbitan Dar ar-Royyan li at-Turats)
4.
Shalat dhuha dapat dikerjakan secara berjamaah.
Berdasarkan hadis:
عَنْ عِتْبَانِ بْنِ مَالِكٍ وَهُوَ مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِمَّنْ شَهَدَ بَدْرًا مِنَ اْلأَنْصَارِ أَنَّهُ أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّى قَدْ أَنْكَرْتُ بَصَرِي
وَأَنَا أُصَلِّى لِقَوْمِي وَإِذَا كَانَتِ اْلأَمْطَارُ سَالَ اْلوَادِى بَيْنِي
وَبَيْنَهُمْ وَلَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أَتَى مَسْجِدَهُمْ فَأًُصَلِّي لَهُمْ
وَوَدِدْتُ أَنَّكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ تَأْتِي فَتُصَلِّي فِي مُصَلَّى
فَأَتَّخِذُهُ مُصَلًى قَالَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَأَفْعَلُ إِنْ شَآءَ اللهُ. قَالَ عِتْبَانُ: فَغَدَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ حِيْنَ ارْتَفَعَ النَّهَارُ
فَاسْتَأْذَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنْتُ لَهُ فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى دَخَلَ الْبِيْتَ ثُمَّ قَالَ:
أَيْنَ تُحِبُّ أَنْتُصَلِّي مِنْ بَيْتِكَ. قَالَ: فَأَشَرْتُ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ
الْبَيْتِ فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَبَّرَ فَقُمْنَا وَرَاءَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ
ثُمَّ سَلَّمَ. [متفق عليه].
Artinya: “Diriwayatkan dari Itban bin
Malik ---dia adalah salah seorang shahabat Nabi yang ikut perang Badar dari
kalangan Ansar--- bahwa dia mendatangi Rasulullah saw lalu berkata: Wahai
Rasulullah, sungguh aku sekarang tidak percaya kepada mataku (maksudnya, matanya
sudah kabur) dan saya menjadi imam kaumku. Jika musim hujan datang maka
mengalirlah air di lembah (yang memisahkan) antara aku dengan mereka, sehingga
aku tidak bisa mendatangi masjid untuk mengimami mereka, dan aku suka jika
engkau wahai Rasulullah datang ke rumahku lalu shalat di suatu tempat shalat
sehingga bisa kujadikannya sebagai tempat shalatku. Ia meneruskan: Kemudian Rasulullah saw bersabda:
“Akan kulakukan insya Allah”. Itban berkata lagi: Lalu keesokan harinya
Rasulullah saw dan Abu Bakar ash-Shiddiq datang ketika matahari mulai naik,
lalu beliau meminta izin masuk, maka aku izinkan beliau. Beliau tidak duduk
sehingga masuk rumah, lalu beliau bersabda: “Mana tempat yang kamu sukai aku
shalat dari rumahmu? Ia berkata: Maka aku tunjukkan suatu ruangan rumah”. Kemudian
Rasulullah saw berdiri lalu bertakbir, lalu kami pun berdiri (shalat) di
belakang beliau. Beliau shalat dua rakaat kemudian mcngucapkan salam”. [Muttafaq Alaih].
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ
مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي
بَيْتِهِ سُبْحَةَ الضُّحَى فَقَامُوا وَرَاءَهُ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ. [رواه
أحمد والدارقطني وابن خزيمة]
Artinya: “Diriwayatkan
dari ‘Itban ibn Malik, bahwasanya Rasulullah saw mengerjakan shalat di rumahnya
pada waktu dhuha, kemudian para sahabat berdiri di belakang beliau lalu
mengerjakan shalat dengan shalat beliau.” [HR. Ahmad, ad-Daruquthni, dan
Ibnu Hibban]
Ada
pula satu hadis riwayat Ahmad, ad-Daruquthni, dan Ibnu Hibban dari A’idz ibn ‘Amr,
yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw pada suatu kesempatan pernah
melaksanakan shalat dhuha bersama para sahabat beliau.
Wallahu a’lam bish-shawab. *putm)