I’TIKAF MENURUT AL-QUR’AN DAN HADIS


I’TIKAF MENURUT AL-QUR’AN DAN HADIS

Pertanyaan dari:
Hamka Ma’ruf al-Kastolani, Notoprajan NG II/78 Yogyakarta
(disidangkan pada hari Jum'at 23 Syakban 1430 H / 14 Agustus 2009)


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Bulan Ramadhan hampir tiba, salah satu ibadah di bulan Ramadhan yang sangat dianjurkan terutama di sepertiga bulan yang akhir yaitu ibadah i’tikaf.
Selama ini yang difahami oleh sebagian besar umat Islam terutama di Indonesia, tempat i’tikaf di dalam masjid. Yang dimaksud di dalam masjid adalah masjid bagian dalam tidak di serambi. Bagi masjid besar tidak masalah, tetapi bagi masjid yang kecil jadi masalah yaitu sempitnya masjid, sehingga masjid bagian dalam itu dibagi dua dengan tabir, ada yang putera di muka dan puteri di belakang, tetapi ada juga yang putera di sebelah kanan sedang puteri di sebelah kiri. Sebagian umat Islam berpendapat bahwa serambi tidak boleh dipergunakan untuk i’tikaf.
Sementara itu i’tikaf harus dikondisikan agar kekhusyu’an dapat terjamin. Untuk itu lampu harus yang redup saja, tidak boleh yang terang. Yang saya tahu adalah dalam beri’tikaf kita boleh juga membaca kitab-kitab terutama agama atau membaca al-Qur’an asal secara sir.
Pertanyaan saya adalah bagaimana tuntunan i’tikaf yang benar menurut hadis-hadis Nabi? Apa seperti yang tergambar di atas?
Saya baik selaku ketua takmir maupun selaku ketua PRM sangat memerlukan panduan dari Bapak untuk kami teruskan kepada umat.
Atas jawaban bapak kami ucapkan terima kasih.


Jawaban:

Untuk menjawab apa yang ditanyakan oleh Bapak Hamka Ma’ruf al-Kastolani perlu kami sampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan i’tikaf.
1.      Pengertian I’tikaf
I’tikaf menurut bahasa artinya berdiam diri dan menetap dalam sesuatu. Sedang pengertian i’tikaf menurut istilah dikalangan para ulama terdapat perbedaan. Al-Hanafiyah (ulama Hanafi) berpendapat i’tikaf adalah berdiam diri di masjid yang biasa dipakai untuk melakukan shalat berjama’ah, dan menurut asy-Syafi’iyyah (ulama Syafi’i) i’tikaf artinya berdiam diri di masjid dengan melaksanakan amalan-amalan tertentu dengan niat karena Allah. Majelis Tarjih dan Tajdid dalam buku Tuntunan Ramadhan menjelaskan I’tikaf adalah aktifitas berdiam diri di masjid dalam satu tempo tertentu dengan melakukan amalan-amalan (ibadah-ibadah) tertentu untuk mengharapkan ridha Allah.
I’tikaf disyariatkan berdasarkan al-Quran dan al-Hadits.
  1. Al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 187.
فَاْلآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ. [البقرة (2): 187]
Artinya:  ...maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang   ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hinggga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” [QS. al-Baqarah (2):187]
  1. Hadits riwayat Aisyah ra:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ اْلعَشَرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Bahwa Nabi saw melakukan i’tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, (beliau melakukannya) sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” [HR. Muslim]
2.      Waktu Pelaksanaan I’tikaf
I’tikaf sangat dianjurkan dilaksanakan setiap waktu di bulan Ramadhan. Di kalangan para ulama terdapat perbedaan tentang waktu pelaksanaan i’tikaf, apakah dilaksanakan selama sehari semalam (24 jam) atau boleh dilaksanakan dalam beberapa waktu (saat). Al-Hanafiyah berpendapat bahwa i’tikaf dapat dilaksanakan pada waktu yang sebentar tapi tidak ditentukan batasan lamanya, sedang menurut al-Malikiyah i’tikaf dilaksanakan dalam waktu minimal satu malam satu hari.
Dengan memperhatikan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa i’tikaf dapat dilaksanakan dalam beberapa waktu tertentu, misal dalam waktu 1 jam, 2 jam, 3 jam dan seterusnya, dan boleh juga dilaksanakan dalam waktu sehari semalam (24 jam).
3.      Tempat Pelaksanaan I’tikaf
Di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187 dijelaskan bahwa i’tikaf dilaksanakan di masjid. Di kalangan para ulama ada pebedaan pendapat tentang masjid yang dapat digunakan untuk pelaksanaan i’tikaf, apakah masjid jami’ atau masjid lainnya. Sebagian berpendapat bahwa masjid yang dapat dipakai untuk pelaksanaan i’tikaf adalah masjid yang memiliki imam dan muadzin khusus, baik masjid tersebut digunakan untuk pelaksanaan salat lima waktu atau tidak. Hal ini sebagaimana dipegang oleh al-Hanafiyah (ulama Hanafi). Sedang pendapat yang lain mengatakan bahwa i’tikaf hanya dapat dilaksanakan di masjid yang biasa dipakai untuk melaksanakan salat jama’ah. Pendapat ini dipegang oleh al-Hanabilah (ulama Hambali).
Menurut hemat kami masjid yang dapat dipakai untuk melaksanakan i’tikaf sangat diutamakan masjid jami (masjid yang biasa digunakan untuk melaksanakan salat Jum’at) , dan tidak mengapa i’tikaf dilaksanakan di masjid biasa.
4.      Syarat-syarat I’tikaf
Untuk sahnya i’tikaf diperlukan beberapa syarat, yaitu;
a.       Orang yang melaksanakan i’tikaf beragama Islam
b.      Orang yang melaksanakan i’tikaf sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan
c.       I’tikaf dilaksanakan di masjid, baik masjid jami’ maupun masjid biasa
d.      Orang yang akan melaksanakan i’tikaf  hendaklah memiliki niat i’tikaf
e.       Orang yang beri’tikaf tidak disyaratkan puasa. Artinya orang yang tidak berpuasa boleh melakukan i’tikaf
5.      Hal-hal yang Perlu mendapat perhatian bagi orang yang beri’tikaf
Para  ulama sepakat bahwa orang yang melakukan i’tikaf harus tetap berada di dalam masjid tidak keluar dari masjid. Namun demikian bagi mu’takif (orang yang melaksanakan i’tikaf) boleh keluar dari masjid karena beberapa alasan yang dibenarkan, yaitu;
a.       karena ’udzrin syar’iyyin (alasan syar’i), seperti melaksanakan salat Jum’at
b.      karena hajah thabi’iyyah (keperluan hajat manusia) baik yang bersifat naluri maupun yang bukan naluri, seperti buang air besar, kecil, mandi janabah dan lainnya.
c.       Karena sesuatu yang sangat darurat, seperti ketika bangunan masjid runtuh dan lainnya.
6.      Amalan-amalan yang dapat dilaksanakan selama I’tikaf
Dengan memperhatikan beberapa ayat dan hadis Nabi Saw., ada beberapa amalan (ibadah) yang dapat dilaksanakan oleh orang yang melaksanakan i’tikaf, yaitu;
a.       Melaksanakan salat sunat, seperti salat tahiyatul masjid, salat lail dan lain-lain
b.      Membaca al-Qur’an dan tadarus al-Qur’an
c.       Berdzikir dan berdo’a
d.      Membaca buku-buku agama
Dengan memperhatikan keterangan di atas, maka apa yang ditanyakan bapak Hamka Ma’ruf Kastolani seperti lampu masjid harus redup dalam rangka kekhusyu’an beri’tikaf, bukan sesuatu yang harus dilaksanakan ketika i’tikaf karena tidak ada dalil khusus yang menjelaskan tentang hal tersebut.
Wallahu a’lam bish shawab. *A.56h)


 

Tiang Mrican Kulon © 2011 Design by Wawan_Dwn | Sponsored by EQN - Islam - Best To Allah