SEPUTAR ZAKAT 1
Pertanyaan Dari:
Pimpinan Cabang Muhammadiyah Moga Pemalang Jawa
Tengah
(disidangkan pada Jum’at, 25 Jumadal Ula 1429 H / 30 Mei 2008 M dan Jum’at, 12 Muharam 1430 H / 9 Januari 2009)
Pertanyaan:
1. Pada penghitungan zakat pertanian; apakah
harus dihitung dengan cara hasil yang diperoleh dikurangi terlebih dahulu
dengan nilai saprotan (sarana produksi tanam) atau tidak dikurangi
terlebih dahulu dalam penentuan nishabnya ? ( ada perbedaan antara SM dan buku
PPPZ ).
2. Bila seseorang sudah mengeluarkan zakat
sesuai dengan ketentuan lalu orang tersebut menyisihkan atau menabung sebagian
pendapatannya setelah dikeluarkan zakatnya. Pada saat tertentu nilai tabungan
tersebut mencapai nishabnya. Apakah orang tersebut masih harus mengeluarkan zakat (artinya mengeluarkan
zakat 2 kali dari 1 harta yang dimiliki)? Apa alasannya?
Jawab:
1. Persoalan tentang zakat hasil pertanian,
apakah dihitung dengan cara hasil yang diperoleh dikurangi dahulu dengan biaya
yang dikeluarkan oleh petani atau tidak, memang nash tidak menjelaskanya. Nash
yang berbicara tentang persoalan ini hanya menjelaskan bahwa zakat pertanian
itu 10% jika diairi dengan air hujan dan 5% jika menggunakan irigasi. Sebagaimana
sabda Rasulullah saw:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ فِيمَا سَقَتْ السَّمَاءُ وَالْعُيُونُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًّا
الْعُشْرُ وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ نِصْفُ الْعُشْرِ [رواه البخارى وأحمد]
Artinya: “Diriwayatkan dari
Ibnu Umar, ia berkata: Nabi saw bersabda: “Terhadap tanaman yang
disirami hujan dari langit dan dari mata air atau yang digenangi air selokan,
dikeluarkan zakatnya sepersepuluhnya, sedangkan terhadap tanaman yang diairi
dengan sarana pengairan seperduapuluhnya”.” [HR. al-Bukhari dan Ahmad]
Jiwa hukum Islam boleh dikatakan dapat menentukan bahwa zakat dapat
digugurkan dengan sejumlah biaya yang digunakan untuk memperoleh hasil. Dalam
kitab al-Kharraj (hlm. 509), Ibnu Abbas menyatakan bahwa seorang petani
harus membayar terlebih dahulu segala macam biaya yang telah dipergunakan untuk
pengolahan pertaniannya itu. Setelah itu kemudian dikeluarkan zakatnya.
Oleh karena itu, bagi petani yang tidak hanya mengeluarkan biaya air,
tapi juga mengeluarkan biaya-biaya yang lainnya seperti biaya pembelian benih,
insektisida, pupuk dan juga perawatan maka biaya-biaya tadi diambilkan dari
hasil panen, kemudian sisanya bila telah sampai senisab atau 5 autsaq (kurang
lebih 653 kg) maka dikeluarkan zakatnya 10% jika hasil pertanian tadi diairi
dengan air hujan, sungai dan mata air, dan 5% jika diairi dengan sistem
irigasi.
Meskipun demikian, jika ada orang yang dengan kesadarannya mengeluarkan
zakat dari hasil kotornya (tanpa dipotong oleh biaya-biaya tadi) maka
dapat dianggap perbuatan baik dan utama.
Mengutip pendapat Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam buku fiqih zakatnya,
disebutkan bahwa ada dua hal yang dapat menguatkan pendapat itu. Pertama; beban dan biaya dalam pandangan agama merupakan
faktor yang mempengaruhi. Besar zakat bisa berkurang karenanya, misalnya dalam
hal pengairan yang memerlukan bantuan peralatan mengakibatkan besar zakatnya
hanya 5% saja. Bahkan zakat itu bisa gugur sama sekali apabila ternak misalnya,
harus dicarikan makannya sepanjang tahun. Berdasarkan hal itu maka wajar
apabila biaya dapat menggugurkan kewajiban zakat dari sejumlah hasil sebesar
biaya tersebut. Kedua; bahwa pertumbuhan pada dasarnya adalah
perkembangan, tetapi perkembangan itu tidak bisa dianggap terjadi dalam
kekayaan yang diperoleh tetapi biaya untuk memperolehnya juga sebesar yang
diperoleh itu, jadi seolah-olah biaya itu telah memakannya.
Tentang perkiraan adanya perbedaan
antara Buku Tanya Jawab Agama terbitan Suara Muhammadiyah dengan buku Petunjuk
Praktis Penghitungan Zakat (PPPZ) yang dikeluarkan oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah
Moga, memang sepintas terlihat ada perbedaan antara keduanya tentang bagaimana
cara mengeluarkan zakat pertanian. Di dalam buku Tanya Jawab Agama 1 halaman
112 dan Tanya Jawab Agama 2 halaman 118-119 disebutkan bahwa kadar zakat hasil
tanaman ialah 10% dari hasil panen seluruhnya apabila tanaman itu tumbuh dan
hidup tanpa mengeluarkan biaya pengairan dan lain-lainnya, atau 5% dari hasil
seluruhnya apabila tanaman itu tumbuh dan hidup dengan pembiayaan yang cukup.
Sedangkan dalam buku PPPZ disebutkan bahwa cara mengeluarkan zakatnya adalah
hasil panen dikurangi biaya saprotan dulu baru dikeluarkan 5% dari sisa
pengurangan yang telah mencapai nishab. Ringkasnya bahwa dalam buku Tanya Jawab
Agama 1 dan 2 tidak menyebutkan zakat hasil pertanian atau tanaman itu
dikeluarkan dengan cara hasil panen dikurangi biaya saprotan, sedangkan
dalam buku PPPZ zakat hasil panen itu disebutkan dikurangi biaya saprotan.
Namun dalam Tanya Jawab Agama
3 halaman 159 disebutkan bahwa dalam kalangan fuqoha hanafiyah pembayaran
zakat 10% atau 5% itu dikeluarkan setelah dipotong segala biaya yang sudah
dikeluarkan dan sisanya masih mencapai senishab. Oleh karena itu, sesungguhnya
antara Buku TJA SM dan Buku PPPZ tidak ada perbedaan, karena apa yang ada dalam
buku Tanya Jawab Agama itu sifatnya saling melengkapi. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa penentuan nishab zakat pertanian itu dihitung dengan cara
hasil pertanian yang diperoleh dikurangi terlebih dahulu dengan biaya produksi.
2. Zakat maal atau harta adalah suatu
kewajiban bagi setiap muslim yang mempunyai kekayaan baik berupa uang, ternak,
emas, perak atau kekayaan lainnya yang diwajibkan zakat. Dan bahkan ulama-ulama
kontemporer mewajibkan zakat atas gaji profesi atau penghasilan. Kewajiban
zakat dari kekayaan tersebut adalah dengan syarat harta tersebut milik sendiri,
telah mencapai nishab (batas minimal yang wajib dizakati) dan mempunyai sifat an-namaa’ (berkembang dan berpotensi berkembang).
Makna berkembang dan berpotensi berkembang adalah bahwa harta
tersebut bisa bertambah dari waktu ke waktu yang memberikan keuntungan,
penghasilan dan atau pemasukan bagi pemiliknya. Baik kekayaan tersebut diolah
dengan cara diusahakan sendiri oleh pemiliknya atau diolah dengan cara
diusahakan bersama-sama dengan orang lain maupun lembaga lain maupun disimpan
di bank-bank. Seperti uang yang disimpan di bank-bank Islam yang menerapkan
sistem mudharabah (bagi hasil) maupun sistem lainnya yang di perbolehkan oleh
syariat. Maka dari semua itu diwajibkan zakat atasnya setelah syarat-syarat
wajib zakat terpenuhi. Syarat berkembang ini berdasarkan dari
pernyataan-pernyataan umum al-Quran dan hadis yang mengisyaratkan harta
kekayaan yang wajib dizakati adalah mempunyai potensi untuk berkembang. Dan juga didasarkan pada pengertian zakat itu sendiri yang mempunyai arti berkembang.
Demikian pula, harta yang wajib dizakati disyaratkan
telah mencapai haul (batas jatuh tempo pembayaran), yaitu telah berlalu satu
tahun (bagi harta selain pertanian). Haul ini berdasarkan hadis Nabi saw yang berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ زَكَاةَ فِي مَالٍ حَتَّى
يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْل ُ. [رواه ابن ماجه]
Artinya: “Diriwayatkan
dari Aisyah ra, dia berkata: "Aku
mendengar Rasulullah saw berkata: "Tidak ada zakat atas suatu kekayaan
sampai berlalu satu tahun." [HR. Ibnu Majah]
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَفَادَ مَالاً فَلاَ زَكَاةَ
عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ. [رواه الترمذي]
Artinya: “Diriwayatkan
dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang
memperoleh harta, maka tidak ada zakat atasnya sampai berlalu satu tahun."
[HR. Tirmidzi]
Masih banyak dalil-dalil dari hadis Rasulullah saw yang
semisal dengan hadis-hadis di atas. Walaupun ada sebagian ulama yang
mendhaifkan hadis-hadis tersebut, namun antara yang satu dengan yang lainnya
saling menguatkan sehingga kedudukannya terangkat.
Sehubungan dengan pertanyaan saudara penanya di atas,
kiranya hadis Rasulullah saw di atas dapat dijadikan jawabannya. Hal itu karena
hadis tersebut dapat difahami bahwa setiap harta yang telah berlalu satu tahun
dan telah mencapai nishab diwajibkan zakat artinya setiap tahun harus
dikeluarkan zakatnya. Lalu bagaimana jika seseorang telah membayar zakat
pendapatannya, kemudian pendapatannya tersebut ditabung, setelah beberapa lama
mencapai nishab apakah ada kewajiban zakat lagi? Lalu bagaimana dengan membayar
zakat 2 kali dari 1 harta yang sama?
Pada hakekatnya zakat diwajibkan beberapa kali dari harta
yang sama. Namun dalam setahun zakatnya ditunaikan sekali saja, karena tidak
ada contoh dari Nabi saw maupun sahabat yang melakukan dua kali zakat dari
harta yang sama dalam masa satu tahun. Oleh karena itu, apabila ada seorang
yang menabung pendapatannya setelah dibayar zakatnya, kemudian jumlah tabungan
tersebut dalam suatu waktu mencapai nishab, maka ia tetap berkewajiban untuk
membayar lagi zakat uang tabungannya. Akan tetapi zakatnya dari uang yang telah
mencapai nishab (sama dengan harga emas 85 gram) ditunaikan pada tahun
berikutnya dengan menggabungkan antara uang tabungan dan uang pendapatannya
yang belum dizakati agar tidak terjadi dua kali zakat dari harta yang sama
dalam satu tahun. Hal ini berdasarkan hadis tentang haul di atas yang
menyatakan bahwa setiap harta yang telah mencapai nishab diwajibkan zakat
setiap tahunnya walaupun pada tahun sebelumnya telah dibayar zakatnya dan juga
riwayat Ibnu Abi Syaibah dari sumber az-Zuhri yang mengatakan bahwa Abu Bakar,
Umar, dan Usman dalam mengambil zakat, mereka hanya mengirimkan
petugas-petugasnya tiap tahunnya baik diwaktu makmur atau paceklik. (Fiqih
Zakat Yusuf al Qaradhawi)
Di samping itu, juga didasarkan pada maksud diwajibkannya
zakat tiap tahun, yaitu memberikan hak fakir miskin dan membersihkan harta dari
hak-hak orang lain, sebagaimana disebutkan dalam QS. at-Taubah, 9: 103:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا ... [التوبة، 9: 103]
Artinya: “Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka … ” [QS. at-Taubah, 9: 103]
Zakat diwajibkan juga agar tidak ada kesenjangan di antara
si kaya dengan si miskin sehingga terwujud kesejahteraan bersama. Begitu pula
kewajiban membayar zakat setiap tahun adalah suatu hal yang lebih adil bagi
orang yang membayar zakat (muzakki) dan bagi yang menerimanya (mustahiq), karena
tidak memberatkan orang yang wajib zakat dan meringankan beban bagi orang yang
berhak menerima zakat. Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah
dalam kitab Zaadul Ma’ad:
"Beliau yaitu Nabi saw hanya mewajibkan zakat itu satu kali dalam
setahun dan satu tahun buat tanaman dan buah-buahan adalah masa panen atau
matangnya. Ini merupakan cara yang paling adil, sebab jika keharusan
mengeluarkan zakat itu sekali dalam satu bulan atau satu minggu, tentu akan
menyakiti pemilik kekayaan, begitu juga bila zakat diwajibkan sekali seumur
hidup tentu akan menyakiti orang-orang miskin yang seharusnya menerima zakat
itu. Maka tidak ada yang lebih adil daripada mengeluarkan zakat sekali dalam
setahun”.
Wallahu ‘alam bish-shawab. *putm)