POSISI JARI
TELUNJUK PADA SAAT DUDUK TAHIYAT
DAN SIKAP
MUHAMMADIYAH MENGENAI
AHMADIYAH DAN RUU PORNOGRAFI
Pertanyaan dari:
Dedi
Hermawan, Bogor, Jawa Barat
(disidangkan
pada Jum’at, 25 Safar 1430 H / 20 Februari 2009 M)
Pertanyaan:
Assalaamu'alikum Wr. Wb.
1. Dalam pelaksanaan sholat, pada saat
tahiyat, posisi jari telunjuk bergerak atau diam?
2. Sikap muhammadiyah mengenai ahmadiyah dan
RUU Pornografi seperti apa?
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
1. Tentang pelaksanaan shalat, posisi jari
telunjuk pada saat tahiyat, bergerak atau diam.
Masalah menggerakkan jari
telunjuk ketika duduk tasyahud, baik awal maupun akhir dalam shalat adalah
salah satu masalah yang masih memerlukan penjelasan dan penelisikan lebih
lanjut terutama pada kualitas sanad hadits-hadits antara yang tidak
memerintahkan dan yang membolehkan menggerakkannya. Oleh karena itu, sekalipun
masalah ini pernah ditanyakan dan telah pula dijawab serta dimuat di Buku Tanya
Jawab Agama Jilid 5 halaman 44-46, berikut ini kami tambahkan penjelasan
tentang posisi jari telunjuk pada saat tahiyat.
Hadits yang sering digunakan
sebagai dalil bagi orang yang menggerakkan jari telunjuk saat tasyahud adalah hadis
riwayat an-Nasa’i dari sahabat Wail bin Hajar (Sunan an-Nasa’i: 1192). Berikut
kami kutip lengkap dengan sanadnya:
أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللهِ
ـ يعني ابْنُ الْمُبَارَكِ ـ عَنْ زَائِدَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا عَاصِمُ
بْنُ كُلَيْبٍ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ قَالَ: قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إلَى
صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إلَيْهِ فَوَصَفَ قَالَ: ثُمَّ
قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى
فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الأَيْمَنِ عَلَى
فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَض اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَع أُصْبُعَهُ
فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا. مُخْتَصَرٌ. [رواه النسائي]
Artinya: “Suwaid
bin Nashr mengkabarkan dari Ibnu Mubarak dari Zaidah (bin Qudamah) dari Ashim
bin Kulaib dari ayahnya dari Wail bin Hujr yang berkata: "Aku akan akan
melihat bagaimana shalat Rasulullah saw, maka aku telah melihatnya dan
memperhatikan gerakannya. Ia berkata: Kemudian ia duduk (tasyahud) dengan
iftirasy (duduk di atas telapak kaki kiri yang dihamparkan dan telapak kaki
kanannya ditegakkan, pen.) dan meletakkan telapak tangan kirinya pada paha dan
lututnya yang kiri dan meletakkan siku kanannya di atas paha kanannya, kemudian
menggenggamkan dua jarinya dan terkadang ibu jari dan jari tengahnya membentuk
bulatan lalu menggerak-gerakkan jari
telunjuknya sambil berdoa. [HR. an-Nasa’i]
Jika dianalisa dan
dibandingkan, ternyata didapati banyak jalur sanad lain yang juga dari Wail bin
Hujr, namun kebanyakan tidak mencantumkan kata "يُحَرِّكُهَا
" (menggerak-gerakkan) sebagaimana dalam riwayat ini yang di dalamnya
terdapat seorang rawi bernama Zaidah bin Qudamah. Zaidah bin Qudamah inilah
yang menambahkan kata tersebut dalam matan hadits yang ia riwayatkan. Dalam
ilmu Musthalah al-Hadits, tambahan dalam suatu matan hadits yang menyalahi
matan yang ada dalam jalur sanad lain yang sama dapat dikategorikan sebagai
"sadz" (cacat). Jika tidak menyalahi, maka tambahan
tersebut diistilahkan dengan ziyadah tsiqat (tambahan yang menguatkan).
Zaidah, meski sebagai rawi dinilai oleh para ulama kritikus hadits dengan tsiqah
tsabat (kuat dan stabil), namun ia memberi tambahan yang bertentangan
dengan riwayat-riwayat lain yang lebih kuat. Selain riwayat ini, hadits lain
yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Imam
al-Baihaqi.
Dalil lain yang sering digunakan adalah penggalan lafaz sebuah riwayat
dari Ibnu Umar (Jami' Masanid wa al-Marasil: 16954), "لَهِيَ أَشَدُّ عَلٰى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيدِ " ((jari telunjuk itu) akan terasa
lebih keras pada setan dari sekedar (pukulan) besi). Artinya, orang yang
mengamalkan penggerakan jari telunjuk ketika tasyahud bermaksud untuk mengusir
setan agar tidak mengganggu shalatnya. Padahal Ibnu Umar sendiri dalam riwayat tersebut tidak menyebutkan
adanya penggerakan telunjuk jari.
Sedangkan kebanyakan riwayat
terkait tema tasyahud ini tidak ada yang memerintahkan untuk menggerakkan
telunjuk jari, hanya mengacungkannya sejak awal tasyahud hingga salam.
Sebagaimana riwayat dari Abdulah bin Zubair, Abdulah bin Umar, Aisyah, dan Abu
Hurairah. Pun demikian mayoritas ulama mazhab berpendapat untuk tidak menggerak-gerakkan
jari telunjuk ketika tasyahud.
2. Sikap Muhammadiyah mengenai Ahmadiyah dan
RUU Pornografi seperti apa?
Secara khusus, Muhammadiyah
memang tidak mengeluarkan pernyataan sikap tentang Ahmadiyah. Namun, secara
umum Muhammadiyah telah mempunyai pandangan bahwa siapa pun itu, jika mengimani
adanya nabi setelah Nabi Muhammad saw adalah kafir. Hal ini seperti ditegaskan dalam
Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Kitab Beberapa Masalah:
Barang siapa mengimankan
kenabian seseorang sesudah Nabi Muhammad SAW, maka harus diperingatkan dengan
firman Allah “Muhammad itu bukannya bapak seseorang dari padamu, tetapi ia
Pesuruh Allah dan penutup sekalian Nabi”; dan sabda Rasulnya: “Dalam ummatku
akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya Nabi, padahal aku ini penutup
sekalian Nabi, yang tidak ada Nabi selain Nabi sesudahku”. (Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaihi dari Tsauban). Begitu juga sabda nabi :
“Perumpamaanku dan sekalian Nabi sebelumku adalah ibarat seorang yang
mendirikan gedung. Maka diperbaguskan dan perindahkan bangunan itu kecuali satu
bata (yang belum dipasang) pada salah
satu penjuru-penjurunya, maka orang-orang mengelilinginya dengan heran
dan katanya : “Mengapakah bata ini tidak dipasang?”. Sabda Rasulullah : “Aku
inilah bata itu, dan aku inilah penutup sekalian Nabi”. (hadits ini
diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya dari Abu Hurairah);dan banyak
lagi hadits yang menerangkan dengan jelas bahwa tak ada Nabi sesudah Nabi
Muhammad SAW. Jikalau orang tidak
menerima dan tidak mempercayai ayat dan hadits tersebut maka ia mendustakannya,
maka barang siapa mendustakannya maka kafirlah ia.
Adapun mengenai pornografi,
telah kami sampaikan pada beberapa nomor sebelumnya, telah diputuskan dalam
Musyawarah Nasional Tarjih ke-26 tahun 2003 di Padang Sumatera Barat bahwa
hukumnya adalah haram. Silakan saudara periksa kembali beberapa nomor Majalah
Suara Muhammadiyah yang telah lalu.
Wallahu a’lam bish-shawab. *mr-am)