PEMANFAATAN HARTA/ASET
WAKAF
UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI
ATAU KELUARGA
Pertanyaan Dari:
Burhan, Malang, Jawa Timur
(disidangkan pada Jum’at, 4 Rabiul Akhir 1429 H /
11 April 2008 M)
Pertanyaan:
1. Bagaimana
hukumnya bila ada seseorang atau keluarga yang menggunakan atau memanfaatkan
sementara fasilitas/aset wakaf untuk kepentingan pribadi/keluarga?
Latar belakangnya sebagai berikut:
a. Orang
tersebut sejak remaja sampai dewasa/ berkeluarga aktif dalam organisasi.
b. Orang
tersebut bekerja sebagai seorang pendidik pada sekolah yang didirikan oleh
organisasi, kegiatannya pagi maupun sore mengajar pada TKA dan TPQ dengan
mendapat imbalan jasa/ honor yang sangat minim (jauh dibawah standar UMR),
padahal dia sudah punya tanggungan anak tiga orang yang sudah menginjak masa
remaja dan dewasa.
c. Disamping
dia sebagai seorang pendidik di lembaga formal, juga sebagai seorang dai yang
potensial dan sangat dibutuhkan oleh organisasi tersebut.
d.
Saat ini organisasi tersebut baru saja berhasil
membebaskan sebidang tanah yang sudah ada bangunan rumahnya (kecil) dari hasil
gotong royong, patungan, pelelangan dan jariyah dari para jamaah/ anggota
maupun dari para dermawan dan simpatisan. Tanah tersebut direncanakan untuk pengembangan pendidikan yang sekarang
sudah ada.
e.
Dari
pimpinan setempat, memberikan kebijakan pada orang/keluarga tersebut di atas
untuk menempati sementara, sekaligus sebagai penjaga, pemelihara dan
pengawas keamanan aset itu. Karena dia sendiri belum punya rumah/tempat tinggal
sendiri, sampai nanti bila sudah ada modal untuk membangun tempat tersebut,
maka orang/keluarga tersebut harus meninggalkan tempat sementara itu.
Mohon
jawaban dari pengasuh ruang tanya jawab agama, dengan dalil yang shahih tentang boleh
tidaknya menggunakan fasilitas/aset tersebut di atas.
2.
Bagaimana
tanggapan Bapak bila hal itu terjadi di organisasi Muhammadiyah?
Jawaban:
1. Dari keterangan yang saudara penanya
paparkan, ada beberapa ketentuan yang harus difahami terlebih dahulu. Pertama,
siapakah yang menjadi nazhir (pengelola wakaf) dalam kasus tersebut. Kedua,
apakah pribadi atau keluarga yang dimaksud, kedudukannya sebagai pengelola atau
sekedar peminjam harta wakaf. Berikutnya yang harus diketahui pula adalah
pengertian nazhir itu sendiri, kewajiban nazhir, sumber dana pengelolaan aset
wakaf, dan upah nazhir. Untuk itu, berikut ini kami kutipkan masing-masing
ketentuan yang dimaksud di atas;
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
tentang Hukum Perwakafan, Pasal 215, disebutkan: Nadzir adalah kelompok orang
atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
Adapun menurut Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 (UU No. 41/1974) tentang Wakaf, Bagian Kelima tentang Nazhir,
Pasal 9, disebutkan: Nazhir meliputi perseorangan, organisasi, atau badan
hukum.
Dalam UU No. 41/1974 pasal
11, disebutkan: Nazhir mempunyai tugas:
- Melakukan pengadministrasian harta benda
wakaf;
- Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf
sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya;
- Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
- Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan
Wakaf Indonesia.
Disebutkan pula dalam UU No.
41/1974 pasal 12: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh
persen).
Untuk melengkapi ketentuan
di atas, kami kutipkan beberapa hal yang terkait dengan kewenangan seorang
nazhir dalam mengembangkan harta wakaf. Menurut Dr. Muhammad Abid Abdullah
Al-Kabisi dalam bukunya Hukum Wakaf, yang diterbitkan oleh Dompet Dhuafa
Republika dan Iman Press: Jakarta, 2004, menyebutkan:
a.
Hal-hal
yang boleh dilakukan nazhir:
1)
Menyewakan
harta wakaf yang hasilnya digunakan untuk kepentingan wakaf, seperti membangun,
mengembangkan dan memperbaiki kerusakannya.
2)
Menanami
tanah wakaf kalau aset wakaf tersebut berupa perkebunan.
3) Membangun
pemukiman untuk disewakan.
4) Mengubah
kondisi harta wakaf.
b.
Hal-hal
yang tidak boleh dilakukan oleh nazhir:
1)
Melakukan
dominasi (monopoli) atas harta wakaf
2) Tidak
boleh menggadaikan harta wakaf
3)
Tidak
boleh mengizinkan seseorang untuk menggunakan harta wakaf tanpa bayaran.
4) Tidak
boleh meminjamkan harta wakaf
c. Sumber dana pengelolaan harta wakaf. Wakaf
dimaksudkan untuk memberikan manfaat seluas-luasnya, karena itu diperlukan
usaha untuk mengembangkannya supaya produktif. Untuk itu tentu
memerlukan biaya yang diperoleh dari:
1) Dana
khusus yang disiapkan si wakif untuk pembangunan.
2) Jika
harta wakaf sifatnya siap pakai dan siap dimanfaatkan, maka diambil dari hasil
pengelolaannya.
3) Harta
wakaf yang siap digunakan secara langsung, dana pengelolaannya dibebankan
kepada orang yang menggunakan harta tersebut. Contoh, jika harta wakaf berupa
rumah yang dihuni oleh penerima wakaf, maka penghuni rumahlah yang harus
merawat rumah tersebut dengan uang mereka sendiri. Sebab, mereka memperoleh
manfaat dari rumah itu dengan menempatinya.
4)
Harta wakaf yang digunakan untuk kepentingan
umum, biasanya dana pengelolaannya diambil dari baitul mal (pemerintah). Kalau tidak ada, maka dibebankan kepada
masyarakat umum yang memanfaatkan fasilitas tersebut.
d.
Upah
nazhir. Seorang nazhir yang bertugas untuk mengurus dan mengelola harta wakaf
dengan mengembangkan, memperbaiki kerusakan-kerusakannya, menginvestasikan dan
menjual hasilnya serta membagikan hasil tersebut kepada para mustahik, sudah
selayaknya mendapat upah atas usahanya.
Berdasarkan rumusan di atas,
maka orang yang saudara maksud bukan termasuk nazhir, melainkan seseorang yang
dipekerjakan oleh nazhir untuk memelihara harta wakaf dengan demikian ia berhak
mendapat imbalan/upah atas jasanya. Upah tersebut tidak boleh lebih dari 10 %,
tetapi dalam hal ini karena nazhir (yayasan atau organisasi) belum mampu
membayar upah orang tersebut, maka imbalannya berupa izin untuk menempati
sementara aset wakaf (yang berbentuk rumah). Ketentuan ini tidak bertentangan
dengan butir b nomor 2), 3) dan 4) di atas.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi
Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra.:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَصَابَ عُمَرُ
أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَكَيْفَ
تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا فَتَصَدَّقَ
بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُوَرَّثُ
لِلْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
وَزَادَ عَنْ بِشْرٍ وَالضَّيْفِ ثُمَّ اتَّفَقُوا لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ
وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ
مُتَمَوِّلٍ فِيهِ. [رَوَاهُ أبو داود]
Artinya: “Diriwayatkan
dari Ibnu Umar, bahwa Umar mendapat sebidang tanah dari tanah Khaibar, lalu ia
mendatangi Rasulullah saw Lalu ia berkata: "Wahai Rasulullah, aku mendapat
sebidang tanah di Khaibar, aku belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka
apa yang engkau perintahkan untukku?" Rasulullah saw. bersabda: "Jika
engkau mau, kau tahan pokoknya (tanah itu) dan engkau sedekahkan
hasilnya." Lalu Umar mensedekahkannya (tanahnya untuk dikelola), tanah itu
tidak dijual pokoknya, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. (Tetapi)
disedekahkan (hasil pengelolaan tanah) untuk orang-orang fakir, kerabat, hamba
sahaya, sabilillah, ibnu sabil, --Bisyr menambahkan-- dan untuk tamu. Mereka
bersepakat, tidak ada dosa bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari
hasilnya dengan sepantasnya dan memberi makan pada teman, tanpa ada maksud
menumpuk harta.” [HR. Abu Dawud]
Dengan demikian, menurut hemat kami boleh orang atau keluarga tersebut
menggunakan atau memanfaatkan sementara fasilitas atau aset wakaf tersebut
sebagai pengganti imbal jasa atas pengabdiannya pada organisasi.
2. Pada
dasarnya semua aset persyarikatan adalah harta wakaf, sedangkan Muhammadiyah
bertindak selaku nazhir. Dalam
menunaikan kewajibannya sebagai nazhir (mengelola, memelihara, dan
mengembangkan harta wakaf), Muhammadiyah memberikan upah kepada orang yang
menjadi perpanjangan tangan persyarikatan dalam mengelola aset wakaf tersebut.
Upah yang dimaksud bisa berupa uang tunai, pemanfaatan aset wakaf seperti
halnya kasus di atas, dan lain-lain hal yang bisa dianggap sebagai upah sesuai
ketentuan UU wakaf nomor 41 pasal 12.
Wallahu a’lam bish-shawab.
*putm)