MEMILIH PARTAI POLITIK DAN CALON LEGISLATIF
Pertanyaan Dari:
Ikhlasul Amal, Kedungangkring, Jabon, Sidoarjo, Jawa
Timur
(disidangkan pada hari Jum'at, 12 Zulkaidah 1430 H / 30
Oktober 2009)
Pertanyaan:
Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Bersama
ini kami ingin bertanya kepada pengasuh rubrik Tanya Jawab Agama sebagai
berikut:
1.
Bagaimana hukumnya bagi umat Islam memilih Partai yang
tidak berasas Islam atau berhaluan sekuler?
2.
Bagaimana hukumnya bagi umat Islam memilih Partai yang
jelas-jelas mendukung kemaksiatan seperti menolak UU Pornografi dan Pornoaksi
dan juga menolak Pendidikan Agama dimasukkan ke dalam UU Sisdiknas?
3.
Bagaimana hukumnya bagi umat Islam memilih Caleg dari
kalangan selebriti yang biasa bergelimang dengan kemaksiatan seperti kumpul
kebo dan kecanduan narkoba?
Demikian
yang dapat kami tanyakan, kami tunggu jawabannya. Sebelum dan sesudahnya kami
sampaikan terima kasih.
Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
Sebelum
menjawab pertanyaan saudara, berikut ini kami kutipkan terlebih dahulu beberapa
naskah resmi Muhammadiyah yang berhubungan dengan persoalan politik:
Pertama,
dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) disebutkan
sebagai berikut:
“Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam
yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak
mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari
sesuatu Partai Politik atau Organisasi apapun.
Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan
hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang
tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.”
Kedua,
dalam naskah Khithah Perjuangan dalam Berbangsa dan Bernegara, sikap politik Muhammadiyah
disebutkan sebagai berikut:
“Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam
kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam
urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi,
dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama.
Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga
Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak
mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau
organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam
memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan
prinsip amar ma'ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang
demokratis dan berkeadaban.
Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada
setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan
politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus
merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional
dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan
bangsa dan negara.
Muhammadiyah meminta kepada segenap
anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan
kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab
(amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan
perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya
memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi
munkar.”
Berdasarkan kutipan di atas, kami akan
mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan yang saudara ajukan:
1.
Partai politik adalah bagian dari urusan muamalah
duniawiyah, dan sepanjang pengetahuan kami belum pernah ada pada masa Nabi
Muhammad saw. Oleh sebab itu, partai politik merupakan perkara ijtihadiyah. Dalam
perkara muamalah atau ijtihadiyah, sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam seperti tauhid, keadilan, dan lain-lain, maka
sesuatu itu tidak dilarang. Kaidah fikih menyebutkan:
الأَصْلُ فِي اْلمُعَامَلَةِ اْلإِبَاحَةُ حَتَي يَدُلَّ الدَلِيْلُ عَلَي التَحْرِيْمِ
Artinya: “Hukum asal muamalah adalah boleh, sampai
ditemukan dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Bahkan, Nabi Muhammad saw sendiri pernah
menyatakan:
...
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ. [رواه مسلم عن أنس]
Artinya: “Kamu semua lebih tahu tentang
urusan duniamu” [HR. Muslim diriwayatkan dari Anas]
Demikian pula halnya partai politik,
sepanjang sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, tentu boleh dipilih oleh
umat Islam.
Tentang asas partai politik, memang ada
beberapa partai yang mencantumkan Islam sebagai asas partainya, tetapi belum
tentu cara-cara berpolitik dan program-programnya sesuai dengan ajaran Islam. Demikian
pula sebaliknya, beberapa partai yang tidak berasas Islam, belum tentu
cara-cara berpolitik dan program-programnya tidak Islami. Oleh sebab itu, kami
menganjurkan kepada saudara agar terlebih dahulu mempelajari dengan seksama
platform atau anggaran dasar partai-partai yang hendak saudara pilih, termasuk track
record perjuangannya selama ini.
2.
Dalam sebuah negara demokrasi seperti di Indonesia yang
sangat majemuk, partai politik menjadi representasi dari berbagai golongan
bahkan agama yang ada. Oleh sebab itu, sudah barang tentu akan sering terjadi
perbedaan pendapat dalam memecahkan suatu persoalan di Dewan Perwakilan Rakyat
yang beranggotakan calon-calon terpilih dari berbagai partai politik, seperti
halnya persoalan pornografi, pornoaksi dan pendidikan. Umat Islam diharapkan
dapat dengan cermat memahami, partai-partai apa saja, - apakah yang berasas
Islam atau bukan, - yang baik platform, anggaran dasar maupun track record
perjuangannya selama ini mendukung penuh aspirasi umat Islam. Bagi warga
Muhammadiyah khususnya, hendaknya memilih partai yang sejalan dengan dakwah
Muhammadiyah, yakni dakwah amar ma'ruf nahi munkar dan tajdid. Undang-undang
Anti Pornografi dan Pornoaksi dan Undang-undang Sisdiknas, sangat sesuai dengan
ajaran Islam dan didukung penuh oleh Muhammadiyah. Pada beberapa edisi yang
lalu telah kami sampaikan Putusan Tarjih Muhammadiyah tentang Pornografi dan
Pornoaksi. Dengan demikian, umat Islam tidak boleh memilih partai politik yang
mendukung maksiat atau menentang ajaran Islam.
3.
Perkembangan politik di Indonesia memang berjalan
sangat dinamis. Saat ini, masyarakat tidak lagi memilih wakil rakyat dengan
memilih partainya, melainkan langsung memilih orang yang mengajukan diri
menjadi Calon Legislatif melalui partai-partai politik. Calon legislatif atau
calon wakil rakyat adalah salah satu bagian dari kepemimpinan. Dalam memilih
calon pemimpin, tentu umat Islam harus mempertimbangkannya masak-masak, tidak
boleh gegabah. Apalagi hanya memandang status, pekerjaan dan aktifitasnya
selama ini. Syarat utama seorang pemimpin yang layak dipilih adalah Muslim.
Allah swt berfirman:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä
w (#räÏGs? yqåkuø9$# #t»|Á¨Z9$#ur uä!$uÏ9÷rr& ¢
öNåkÝÕ÷èt/
âä!$uÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4
`tBur Nçl°;uqtGt öNä3ZÏiB ¼çm¯RÎ*sù öNåk÷]ÏB 3
¨bÎ)
©!$#
w Ïôgt
tPöqs)ø9$#
tûüÏJÎ=»©à9$#
ÇÎÊÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin
bagi sebahagian yang lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS. al-Maidah
(5): 51]
Adapun
syarat-syarat lain di antaranya adalah amanah, memiliki kapabilitas dan
kompetensi, memahami dan membela aspirasi umat Islam, serta khusus bagi warga
Muhammadiyah, hendaknya memilih calon pemimpin yang mendukung atau sejalan
dengan dakwah amar ma'ruf nahi munkar dan tajdid yang dikembangkan oleh
Muhammadiyah.
Oleh
sebab itu, boleh saja umat Islam memilih calon legislatif dari kalangan
selebriti, asal memenuhi syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas.
Sebaliknya, jika selebriti yang dipilih adalah selebriti yang suka maksiat,
kecanduan narkoba atau hal-hal negatif lain, tentu saja umat Islam tidak boleh
memilihnya.
Sebagai
penutup, perlu kami sampaikan bahwa Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan
Tajdid juga telah membahas persoalan politik pada Musyawarah Nasional Tarjih
Muhammadiyah ke-26 di Padang tahun 2003, yakni tentang Etika Politik. Berikut
kami kutipkan ringkas naskah Etika Politik tersebut:
Nilai-nilai
Dasar Kehidupan Politik
Nilai-nilai
dasar dalam kehidupan politik menurut ajaran Islam meliputi:
1. Keadilan
(al-‘adalah), dalil: QS. al-A‘raf, 7 : 29, QS. an-Nisa’, 4
: 58, 135, dan QS. al-Ma’idah,
5 : 8.
2. Persaudaraan
(al-ukhuwwah), dalil: QS. al-Hujurat,
49 : 10, 11, 12.
3.
Persamaan
(al-musawah), dalil: QS. an-Nisa’, 4 : 7, QS. an-Nahl, 16 : 97, dan HR
al-Qudla'i dan ad-Dailami dari Anas Ibnu Malik sebagai berikut:
قاَلَ رَسُوْلُ الله
صَلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلنَّاسُ كَأَسْنَانِ اْلمُشْطِ
Artinya: “Rasulullah saw telah bersabda: ‘Manusia itu seperti
gigi sisir’.”
4. Musyawarah
(asy-syura), dalil: QS. asy-Syura, 42 : 38, QS. al-Baqarah,
2 : 233, dan QS. Ali ‘Imran,
3 : 159.
5. Pluralitas
(at-ta‘addudiyyah), dalil: QS.
al-Hujurat, 49 : 13.
6. Perdamaian
(as-silm), dalil: QS. al-Anfal, 8 : 61, QS. al-Hujurat,
49 : 9, 10.
7. Pertanggungjawaban
(al-mas’uliyyah), dalil: QS. al-Mu’minun, 23 : 115, HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdillah
bin Amr ra sebagai berikut:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَاْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ...
Artinya: “Setiap kamu
adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya, setiap imam adalah
pemimpin dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya, …”.
8. Otokritik
(an-naqd adz-dzatiy), dalil:
QS. al-Isra’, 17 : 14.
Kekuasaan
Kekuasaan menurut ajaran Islam adalah amanah
Allah SWT, sebagai penjelmaan dari misi kekhalifahan manusia di muka bumi,
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Kekuasaan tersebut bersifat mas’ûliyyah
atau responsibility (QS. al-Mu’minn, 23 : 115), amanah
atau credibility (QS. al-Mu’minn, 23 : 8), serta berfungsi untuk
melayani kepentingan rakyat (QS. al-Hajj 22 : 41).
Good
Governance
Good Governance (tata
pemerintahan yang baik) merupakan seperangkat tindakan dalam bidang politik,
ekonomi dan administrasi untuk mengelola negara pada semua level. Dengan kata
lain Good Governance berarti kepemerintahan yang baik atau hal
menjalankan kekuasaan negara secara baik. Inti pokok pengertian yang terkandung
di dalam istilah tersebut menunjuk kepada praktik yang bersih dalam penggunaan
kewenangan di bidang politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola urusan
negara dan masyarakat pada setiap peringkat.
Good Governance merupakan
panggilan atau tugas keagamaan yang dituntut oleh ajaran Islam untuk menegakkan
prinsip-prinsip Tauhid (harasat ad-din) sebagai landasan bangunan
kehidupan politik dan penyelenggaraan negara. Selain itu, Good Governance juga
menjadi tugas kemanusiaan, dalam rangka mewujudkan keadilan, kemakmuran dan
kemaslahatan (siyasat ad-dunya).
Untuk mewujudkan Good Governance,
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Adanya partisipasi publik dalam
penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
2. Semua unsur masyarakat memiliki komitmen
untuk menegakkan hukum.
3. Adanya transparansi (keterbukaan) dan
akuntabilitas (pertanggungjawaban) dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
4. Adanya kepekaan dan kepedulian dalam
merespon tantangan dan problem masyarakat.
5. Mengutamakan kepentingan umum, yaitu
adanya orientasi kepada konsensus untuk menciptakan kemaslahatan mayarakat.
6. Setiap warga negara memiliki kedudukan
yang sama/sederajat di depan hukum.
7. Adanya efisiensi dan efektivitas dalam
pengelolaan SDA dan SDM.
8. Adanya visi strategis tentang negara yang
maju dan berdaulat.
9. Adanya kekuasaan yang kuat (powerfull)
untuk menentukan nasib sendiri, dan tidak didikte oleh kekuatan asing.
Untuk
mewujudkan Good Governance di Indonesia dibutuhkan kepemimpinan
nasional yang adil yang memiliki kualifikasi dan kriteria sebagai berikut:
1. Integritas: beriman dan bertaqwa, serta
memiliki kekuatan moral dan intelektual.
2. Kapabilitas: kemampuan memimpin bangsa dan
mampu menggalang dan mengelola keberagaman /kemajemukan menjadi kekuatan yang
sinergis.
3. Populis: berjiwa kerakyatan dan
mengutamakan kepentingan rakyat.
4. Visioner: memiliki visi strategis untuk
membawa bangsa keluar dari krisis dan menuju kemajuan dengan bertumpu pada
kemampuan sendiri (mandiri)
5. Berjiwa Negarawan dan memiliki kemampuan
untuk menyiapkan proses regenerasi kepemimpinan bangsa.
6. Memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan
dengan dunia internasional.
7. Berjiwa reformis: memiliki komitmen untuk
melanjutkan perjuangan reformasi.
Wallahu
a'lam bish-shawab. *amr)