HUKUM MEMAKAN
IKAN HIU DAN ANJING LAUT
Pertanyaan Dari:
Fauzi, Probolinggo, Jawa Timur
(disidangkan pada hari Jum’at, 24 Zulhijjah 1430 H /
11 Desember 2009)
Pertanyaan:
Bagaimanakah
hukum memakan ikan hiu dan anjing laut?
Jawaban:
Ikan hiu (Inggris: shark) dalam
literatur bahasa Arab disebut al-qirsyu (القِرْشُ).
Dalam Kamus al-Maurid, diterangkan bahwa:
اَلْقِرْشُ سَمَكٌ بَعْضُهُ كَبِيْرٌ يُخْشَى
شَرُّهُ.
Artinya:
“Shark (ikan hiu) adalah ikan liar yang sebagiannya berukuran besar yang
ditakuti kebuasannya.”
Ikan hiu hukumnya mubah, karena termasuk
binatang laut yang hukumnya halal menurut keumuman dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah
(M. Masykur Khoir, Risalatul Hayawan, hal. 62).
Dalil al-Qur`an antara lain firman Allah
SWT:
¨@Ïmé& öNä3s9 ßø|¹ Ìóst7ø9$# ¼çmãB$yèsÛur $Yè»tFtB öNä3©9 Íou$§¡¡=Ï9ur (
tPÌhãmur öNä3øn=tæ ßø|¹ Îhy9ø9$# $tB óOçFøBß $YBããm 3
(#qà)¨?$#ur ©!$# üÏ%©!$# Ïmøs9Î) crç|³øtéB . [المآئدة، 5: 96]
Artinya:
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut
sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan;
dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam
ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.”
[QS. al-Maidah (5): 96]
Imam
al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan:
قَوْلُهُ تَعَالَى ”أحلّ
لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ“ هَذَا حُكْمٌ بِتَحْلِيْلِ صَيْدِ البَحْرِ وَهُوَ كُلُّ مَا
صُيِّدَ مِنْ حَيَاتِهِ.
Artinya:
“Firman Allah ta'alaأحِلّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ (dihalalkan bagimu binatang buruan
laut) ini merupakan hukum penghalalan bagi binatang buruan laut, yaitu
setiap binatang yang diburu dalam keadaan hidupnya ...” (Al-Jami' li Ahkam al-Qur`an,
Imam al-Qurthubi, 6/318)
Dalil
hadits, antara lain adalah sabda Nabi saw:
وَقَالَ مُسَدَّدٌ: حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ
يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيِّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ
رَجُلٍ مِنْ بَنِي مُدْلِجٍ، أَنَّ رَجُلاً مِنْهُمْ، قَالَ: يَا رَسُولَ الله، إِنَّا
نَرْكَبُ أَرْمَاثًا فِي الْبَحْرِ، فَنَحْمِلُ مَعَنَا الْمَاءَ لِلشفه، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا
بِمَائِنَا عَطِشْنَا، وَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِمَاءِ الْبَحْرِ، كَانَ فِي أَنْفُسِنَا
مِنْهُ شَيْءٌ! فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: هُوَ الطَّهُورُ
مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
Artinya:
“Musaddad berkata: Yahya telah menceriterakan kepada kami dari Yahya bin Sa’id al-Anshari,
Abdullah bin Mughirah telah menceriterakan kepada kami dari seseorang yang
berasal dari Bani Mudlij, bahwa seorang diantara mereka bertanya: Wahai
Rasulullah, sungguh kami mengendarai kapal di laut, lalu kami membawa air untuk
kami minum (agar tidak haus), Jika kami menggunakan air tersebut untuk wudhu,
maka kami mengalami kehausan. Dan jika kami menggunakan air laut (untuk
berwudhu), maka kami merasakan sesuatu (yang membuat ragu)! Lalu Nabi saw bersabda:
"Dia [laut] itu suci airnya dan halal bangkainya." [HR. Malik, Ashhabus-Sunan,
disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain, lihat Ibnu Hajar al-Asqalani,
Fathul Bari, 9/169; Shahih Ibnu Hibban, no. 1423; al-Mustadrak
'ala Ash-Shahihain, no. 491]
Dalam kitab Aunul-Ma'bud
dijelaskan, hadits di atas menunjukkan beberapa hukum, di antaranya:
أنّ جَمِيْعَ حَيَوَانَاتِ
الْبَحْرِ أي مَا لا يَعِيشُ إلا بِالْبَحْرِ حَلالٌ
Artinya:
"Semua hewan-hewan laut, yaitu hewan yang tidak dapat hidup kecuali di
laut, adalah halal." (Muhammad Syamsul-Haq al-Azhim Abadiy Abu ath-Thayyib,
Aunul-Ma'bud, Juz 1/107)
Jadi, semua hewan laut adalah halal
berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah, termasuk juga dalam
hal ini adalah ikan hiu.
Memang ada sebagian ulama Syafi'iyah
yang mengharamkan ikan hiu, karena ikan hiu dianggap binatang buas yang
menyerang dengan taringnya (ya'duw bi-naabihi). (Abul 'Ala` al-Mubarakfuri,
Tuhfatul-Ahwadzi, 1/189; Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari,
9/169; Ibrahim bin Muhammad, Manarus-Sabiil, 2/368). Pendapat ini
nampaknya didasarkan pada hadits yang mengharamkan memakan setiap binatang yang
bertaring:
وَحَدَّثَنِى هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الأَيْلِىُّ
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا عَمْرٌو - يَعْنِى ابْنَ الْحَارِثِ - أَنَّ ابْنَ
شِهَابٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِى إِدْرِيسَ الْخَوْلاَنِىِّ عَنْ أَبِى ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِىِّ
أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ
السِّبَاعِ
Artinya:
“Telah menceriterakan kepada kami Harun bin Sa’id Al-Aili, telah menceriterakan
kepada kami Ibnu Wahab, telah memberitakan kepada kami Amr—yaitu Ibnu Harits—bahwa
Ibnu Syihab telah berkata kepadanya dari Abu Idris al-Khaulani dari Abu
Tsa’labah al-Khusyani bahwa, Nabi saw telah melarang memakan setiap binatang
buas yang bertaring.” [Shahih Muslim, Bab Haramnya Memakan Binatang
Buas yang Bertaring, Juz 6, hal. 60]
Namun, al-Muhib ath-Thabari memfatwakan
bahwa ikan hiu adalah halal, mengikuti fatwa Ibnul-Atsir dalam kitabnya an-Nihayah.
Menurut Syaikh al-Khathib asy-Syarbini pengarang kitab Mughni al-Muhtaj
pendapat yang menghalalkan ini adalah zhahir (jelas). (asy-Syarbini, Mughni
al-Muhtaj, 4/298). Pengarang kitab Manarus-Sabiil mengatakan,
pendapat yang lebih masyhur, ikan hiu itu mubah. (Ibrahim bin Muhammad;
Manarus-Sabiil, 2/368).
Yang lebih rajih menurut kami, adalah
pendapat yang menyatakan bahwa ikan hiu itu mubah, berdasarkan keumuman
dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah yang telah disebutkan di atas. Adapun dalil
hadits dari Abu Tsala'bah al-Khusyani di atas yang digunakan oleh ulama yang mengharamkan
ikan hiu, tidak dapat diterima, karena hadits tersebut hanya berlaku untuk
binatang bertaring dari hewan-hewan darat (hayawan al-barr), tidak
mencakup binatang bertaring dari hewan-hewan laut (hayawan al-bahr). Hal
ini dikarenakan telah ada dalil-dalil yang menghalalkan binatang laut secara
umum.
Jadi, dengan mengamalkan dalil-dalil
umum yang menghalalkan binatang laut, menghasilkan hukum halalnya ikan hiu.
Sedangkan hadits dari Abu Tsa'labah al-Khusyani di atas juga tetap diamalkan,
meskipun dengan membatasi keberlakuannya hanya untuk binatang darat yang
bertaring, tidak mencakup binatang laut yang bertaring. Dengan demikian, semua
dalil diamalkan.
Adapun pendapat yang mengharamkan ikan
hiu, berarti mengamalkan hadits Abu Tsa'labah al-Khusyani di atas secara umum,
hingga mencakup pengharaman ikan hiu. Di sini terjadi pengabaian (al-ihmaal)
terhadap dalil-dalil yang menghalalkan semua binatang laut. Dengan demikian,
tidak semua dalil diamalkan, tapi hanya satu sisi, yaitu dalil yang mengharamkan
binatang buas bertaring secara umum. Sementara sisi lainnya, yaitu dalil yang
membolehkan semua binatang laut, tidak diamalkan.
Berdasarkan hal itu, Majelis Tarjih dan
Tajdid berpendapat bahwa pendapat yang menghalalkan ikan hiu adalah lebih kuat
(rajih), karena berarti telah mengamalkan semua dalil yang ada,
sebagaimana dijelaskan di atas.
Mengenai anjing laut, perlu diketahui
lebih dahulu bahwa ada dua pendapat yang saling berlawanan tentang apakah mamalia
ini termasuk binatang darat (hayawanul-barr) ataukah binatang laut (hayawanul-bahr).
Yusuf al-Qaradawi dalam Halal Haram dalam Islam mengkategorikan anjing laut
sebagai binatang laut. Sementara dalam rubrik Konsultasi Agama: Hukum
Binatang yang Hidup di Dua Alam di situs Voice of Islam (http://www.voa-islam.net/), anjing laut
digolongkan ke dalam kategori lebih dominan sebagai binatang darat. Sekalipun
demikian, jumhur ‘ulama bersepakat tentang bolehnya memakan daging anjing laut.
Hal ini disebabkan tidak adanya dalil nash yang menjelaskan mengenai
keharamannya, dan oleh karena itu berlaku hukum asalnya yaitu boleh.
Pengikut Hambali termasuk yang
memasukkan anjing laut ke dalam kategori binatang laut. Namun mereka
berpendapat, karena anjing laut merupakan hewan yang berbeda dengan hewan laut
pada umumnya, sebab anjing laut memiliki darah yang mengalir dan sering hidup
di darat, maka mereka mensyaratkan agar ia disembelih lebih dahulu. (Lihat al-Mughni,
Jilid 11, hal: 83). Oleh karena itu, ia tidak halal dimakan apabila mati tanpa
disembelih terlebih dahulu, berbeda dengan beberapa jenis ikan, ikan paus dan
semacamnya dari spesies hewan laut yang tidak hidup kecuali di air. Apalagi
bagi yang berpendapat bahwa anjing laut termasuk binatang darat (meskipun
mempunyai kemampuan bertahan sangat lama di dalam air dan berenang dengan
sangat baik), maka syarat harus disembelih adalah mutlak sebagaimana binatang
darat sembelihan yang lain.
Jumhur ‘ulama cenderung tidak mensyaratkan
anjing laut harus disembelih terlebih dahulu, sebab hal ini termasuk perkara
yang umum dengan berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh
Yahya bin Sa’id al-Anshari, sebagaimana yang telah dicantumkan sebelumnya. (Lihat
Syarah Bulughul-Maram asy-Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, Juz 2, hal:
5). Namun berbeda dengan jumhur ulama, berdasarkan keterangan-keterangan di
atas, kami menyimpulkan bahwa anjing laut halal dimakan, tetapi dengan syarat
harus disembelih terlebih dahulu.
Wallahu a’lam bish-shawab. *putm)