ISTRI BERORGANISASI
Pertanyaan Dari:
Yoeny Wahyu
Hidayatie, SE., KTAM 853174,
Nasyi’ah di Harjo Barat Tersono Batang
(disidangkan pada Jum’at, 22 Shaffar 1429 H / 29 Februari 2008 M)
Pertanyaan:
Assalamu ’alaikum Wr. Wb.
Seorang istri di dalam keluarga memang
berkewajiban mengurus suami dan anaknya. Teman saya sebetulnya aktivis tetapi
selalu terbentur dengan kepentingan suaminya, ia sangat patuh dan perhatian kepada
suaminya. Ia selalu ingin menyambut suaminya ketika pulang kerja. Teman tadi
sampai tidak mau shalat jama’ah di mushalla karena menunggu suaminya pulang.
Sikap teman tadi sesungguhnya sangat bagus dan saya acungi jempol. Tetapi
andaikan semua anggota dan khususnya Pimpinan Nasyiatul Aisyiyah seperti itu,
pastilah kegiatan organisasi tidak berjalan. Mohon penjelasan, bagaimana
sebetulnya posisi istri dalam permasalahan ini.
Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
Menurut agama Islam, pada dasarnya
perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama. Hal ini ditegaskan dalam
firman Allah SWT:
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ. [النحل، 16: 97]
Artinya: “Barangsiapa yang
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.” [QS. an-Nahl (16): 97]
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ. [التوبة، 9: 71]
Artinya: “Dan orang-orang yang
beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. at-Taubah (9): 71]
Sungguhpun
demikian, dalam hal hubungan antara suami dan isteri, satu dengan yang lain masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban sendiri-sendiri. Berikut ini kami uraikan jawaban atas pertanyaan yang saudara sampaikan.
I.
Kewajiban
Suami dan Istri dalam Rumah Tangga
- Kewajiban
Suami terhadap Istri
1. Suami wajib menjaga, melindungi dan
memimpin isterinya. Allah berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ
أَمْوَالِهِمْ ... [النسآء، 4: 34]
Artinya: “Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” [QS.
an-Nisa’ (4): 34]
2. Bergaul
dengan cara yang baik terhadap isteri. Allah berfirman:
...
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ... [النسآء، 4: 19]
Artinya: “Dan
bergaullah dengan mereka secara patut.” [QS. an-Nisa’ (4): 19]
Dalam hadits
dijelaskan:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ
الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ
لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا. [رواه الترمذي]
Artinya: “Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Orang mukmin yang
lebih sempurna imannya adalah orang yang terbaik akhlaknya dan sebaik-baik kamu
adalah orang yang terbaik terhadap isterinya.” [HR. at-Tirmidzi]
3. Memberi
nafkah kepada isteri. Allah
berfirman:
...
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ...
[البقرة، 2: 233]
Artinya:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang makruf.” [QS. al-Baqarah (2): 233]
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ
مِنْ وُجْدِكُمْ ... [الطلاق، 65: 6]
Artinya:
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu.” [QS. ath-Thalaq (65): 6]
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ
وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ
اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا.
[الطلاق، 65: 7]
Artinya: “Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang
disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [QS.
ath-Thalaq (65): 6]
- Kewajiban Isteri terhadap Suami
Dalam Putusan Tarjih hasil Muktamar Tarjih ke XX di Garut tahun 1976
tentang Adabul Mar’ah fil Islam, antara lain diputuskan:
1. Dalam
pergaulan sehari-hari, wanita yang menjadi isteri harus bersikap patuh, taat
serta senantiasa hormat terhadap suaminya. Hal itu supaya benar-benar dilaksanakan dengan tulus dan ikhlas,
baik di hadapan suami maupun di kala suami berada di tempat yang jauh.
2. Senantiasa bersikap sopan santun, bermanis
muka, ramah tamah, dengan menampakkan kecintaan dan kepercayaan yang penuh
terhadap suami.
3. Seorang isteri hendaklah senantiasa
berusaha untuk memiliki gaya dan daya penarik serta tambatan hati bagi
suaminya. Isteri supaya menjadi pelipur lara di kala suami menghadapi
kesusahan, menjadi penenang hatinya di kala gelisah, dan menimbulkan harapan di
saat suami berputus asa. Sabda Nabi:
خَيْرُ النِّسَاءِ تَسُرُّكَ إِذَا
أَبْصَرْتَ، وَتُطِيعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، وَتَحْفَظُ غَيْبَكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ.
[رواه الطبرنى فى الكبير عن عبد الله بن سلام]
Artinya: “Sebaik-baik
isteri adalah yang dapat menyenangkan hatimu bila kamu melihatnya, taat
kepadamu bila kamu suruh, serta dapat menjaga kehormatan dirinya dan hartamu,
di kala kamu sedang tidak di rumah.” [HR. ath-Thabrani di dalam al-Kabir dari Abdullah Ibnu Salam]
4.
Bertanggung jawab di rumah suaminya, untuk kebahagiaan
seluruh keluarga. Allah berfirman:
...
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ ...
[النسآء، 4: 34]
Artinya: “... Maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) ...” [QS. an-
Nisa’ (4): 34]
... وَاْلمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ
زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا ... [رواه البخاري عن ابن عمر]
Artinya: “Dan istri bertanggung jawab di rumah
suaminya dan ia akan diminta pertanggungjawabannya.” [HR. al-Bukhari dari
Ibnu ’Umar]
5. Mengatur
rumah tangga, bersolek dan berhias dalam ukuran yang wajar dan pantas, yakni
tidak berlebih-lebihan merupakan kewajiban bagi setiap wanita Islam. Sedang bagi seorang isteri, bersolek dan
merias diri untuk suaminya dianjurkan oleh Islam.
Allah berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى ... [الأحواب (33): 33]
Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu
dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah
dahulu.” [QS. al-Ahzab (33): 33]
Sikap tabarruj adalah sikap keterlaluan
dalam memperlihatkan pakaian dan perhiasan, seperti yang dilakukan oleh
orang-orang Jahiliyyah.
Allah berfirman:
...
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ
آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ
مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ
النِّسَاءِ ... [النور، 21: 31]
Artinya: “... dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera
mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” [QS. an-Nur (21) :31]
- Kewajiban
Istri terhadap Anak.
Menurut Syari’at Islam, anak adalah amanah
Allah (kepada Ibu dan Bapaknya). Sabda Nabi saw:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ،
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ... [رواه البخاري عن أبي هريرة]
Artinya: “Setiap anak yang lahir dalam keadaan
fitrah. Ibu-bapaknyalah yang menjadikan anak-anak itu menjadi Yahudi atau
Nasrani atau Majusi.” [HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah]
Setiap amanah Allah harus dijaga dan
dipelihara sedemikian rupa sesuai dengan ajaran Islam, sebagai sebuah kewajiban
kepada kedua orang tua. Demikian pula terhadap pendidikan anak menjadi tanggung
jawab kedua orang tua, sebagaimana tersirat dalam firman Allah:
...
وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا. [سورة الإسرآء، 17: 24]
Artinya: “... dan ucapkanlah: Wahai
Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” [QS.
al-Isra’ (17): 24]
Oleh karena itu, suami dan istri mempunyai
kewajiban yang sama dalam pengasuhan dan pendidikan anak sebagai amanah Allah
yang diberikan kepada mereka berdua.
- Kewajiban Istri
terhadap Orang Tua.
Menghormati orang tua sendiri dan orang
tua suami adalah kewajiban utama yang dipikulkan kepda setiap wanita Islam.
Allah berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا
إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ
الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ
تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ
الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا. [الإسرآء (17): 23-24]
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemelharaanmu, maka sekali-kali
janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan ”ah” dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.” [QS. al-Isra’ (17): 23-24]
II. Istri shalat berjama’ah di masjid.
Berikut ini akan kami
tuliskan beberapa hadits yang berkaitan dengan perempuan pergi ke masjid.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ
نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ. [رواه الجماعة إلا ابن ماجه]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu’Umar, ia
berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila isteri-isterimu minta ijin kepadamu
pergi ke masjid, maka ijinkanlah.” [HR. al-Jama’ah kecuali Ibnu Majah]
عَنْ ابْنِ عُمَرَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَمْنَعُوا
النِّسَاءَ مِنْ الْخُرُوجِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِاللَّيْلِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia
berkata: Rasulullah saw bersabda: Janganlah kamu menghalang-halangi para wanita
keluar pergi ke masjid di waktu malam.” [HR. Ahmad]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تَمْنَعُوا النِّسَاءَ
أَنْ يَخْرُجْنَ إِلَى الْمَسَاجِدِ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ. [رواه أحمد
وأبو داود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ’Umar, dari
Nabi saw, beliau besabda: Janganlah kamu menghalang-halangi para wanita keluar
pergi ke masjid, sedangkan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” [HR.
Ahmad dan Abu Daud]
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ
عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ خَيْرُ
مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ. [رواه أحمد]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ummu Salamah, dari
Rasulullah saw, bahwa Nabi saw bersabda: Sebaik-baik masjid bagi perempuan
ialah ruang dalam dari rumah mereka.” [HR. Ahmad]
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تَمْنَعُوا
إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلْيَخْرُجْنَ تَفِلاَتٍ. [رواه أحمد وأبو داود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari
Nabi saw, beliau bersabda: Janganlah kamu menghalang-halangi
perempuan-perempuan ke masjid-masjid Allah. Dan hendaklah mereka keluar tanpa
dengan bau-bau yang harum.” [HR. Ahmad dan Abu Daud]
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا
امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلاَ تَشْهَدَنَّ مَعَنَا الْعِشَاءَ اْلآخِرَةَ.
[رواه مسلم وأبوا دود والنسائى]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah saw bersabda: Siapa saja perempuan yang memakai dupa, maka
janganlah menyertai kami dalam shalat ’isya’.” [HR. Muslim, Abu Daud dan
an-Nasa’i]
عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ لَوْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى مِنْ
النِّسَاءِ مَا رَأَيْنَا لَمَنَعَهُنَّ مِنْ الْمَسَاجِدِ كَمَا مَنَعَتْ بَنُو
إِسْرَائِيلَ نِسَاءَهَا. [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari ’Aisyah, ia
berkata: Andaikata Rasulullah saw menyaksikan para wanita sebagaimana yang kita
saksikan, pastilah beliau akan melarang wanita pergi ke masjid, sebagaimana
Bani Israil melarang perempuan-perempuannya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Dari hadis-hadis di atas
dapat diambil pelajaran bahwa perempuan-perempuan lebih baik shalat di rumah apabila
dengan perginya ke masjid berkemungkinan besar akan menimbulkan fitnah. Untuk
itu dituntunkan agar perempuan yang akan pergi ke masjid hendaknya berpakaian
yang sewajarnya dan tidak menggunakan wangi-wangian secara berlebih-lebihan,
sehingga menutup kemungkinan timbulnya fitnah. Dalam keadaan yang demikian,
perempuan shalat di masjid berjama’ah bersama kaum lelaki adalah lebih utama.
Dalam hal yang seperti ini wajib terhadap lelaki (suami) memberi ijin kepada
perempuan (isterinya) yang akan menunaikan shalat berjama’ah di masjid.
(Periksa asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz II, 1994, hal. 162).
III. Isteri berorganisasi dalam Persyarikatan
Muhammadiyah.
Muhammadiyah adalah Gerakan
Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid bersumber pada al Qur’an dan
as Sunnah; dengan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Pelaksanaan tujuan tersebut
didorong oleh firman Allah:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ
إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. [آل عمران (3):
104]
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali
Imran (3): 104]
Untuk mewujudkan tujuan tersebut
berbagai amal usaha telah dilaksanakan oleh Muhammadiyah, misalnya dalam bidang
dakwah telah dilaksanakan kajian-kajian ajaran Islam dan tabligh ke
masyarakat; di bidang pendidikan, telah diselenggarakan pendidikan dari tingkat
dasar sampai dengan perguruan tinggi; di bidang kesehatan, telah didirikan
poliklinik dan rumah sakit; di bidang ekonomi telah didirikan BMT dan BPRS
serta amal usaha di bidang lainnya.
Amar ma’ruf nahi
munkar dengan berbagai
amal usaha tersebut, merupakan sebagian dari berbagai bentuk ajaran Agama Islam
yang dikategorikan sebagai perbuatan yang dihukumi fardlu kifayah.
Dengan demikian mengambil bagian dalam kegiatan persyarikatan Muhammadiyah
dapat dikategorikan melaksanakan ajaran Agama Islam dalam kategori fardlu
kifayah. Perbuatan ini menjadi sangat penting, karena jika tidak seorang pun
yang mau aktif dalam gerakan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, maka menjadi
berdosa semua umat Islam di tempat gerakan dakwah itu berada.
Dengan demikian hendaknya menjadi
perhatian bagi setiap umat Islam setempat, baik laki-laki maupun perempuan
(termasuk yang telah bersuami dan beristeri) untuk mengambil bagian
(berpartisipasi) dalam gerakan da’wah ini. Bentuk partisipasi dapat diwujudkan
dengan langsung menjadi salah seorang pimpinan atau pengurus, atau memberi
dukungan baik moril maupun materiil kepada pimpinan atau pengurus agar kegiatan
amar ma’ruf nahi munkar dapat berhasil secara maksimal.
Dalam tataran pelaksanaan, tidak jarang
menghadapi kendala yang berupa benturan dengan tugas atau pekerjaan-pekerjaan
pribadi yang merupakan kewajibannya, seperti tugas mencari nafkah, belajar,
termasuk di dalamnya adalah tugas seorang isteri terhadap suaminya, dan
lain-lain. Menghadapi benturan semacam ini hendaklah dapat disiasati sedemikian
rupa tanpa mengorbankan satu kepentingan demi kepentingan yang lain, atau
setidak-tidaknya meminimalisir kemungkinan terjadi pengorbanan salah satu
kepentingan yakni dengan memilih pengorbanan yang terkecil atau dengan kata
lain mendahulukan kegiatan yang mendatangkan kemanfaatan yang lebih besar.
Dalam Qa’idah Fiqhiyyah disebutkan:
يُخْتَارُ أَهْوَنُ الشَّرَّيْنِ
Artinya: “Dipilih paling ringan dari dua kejelekan.”
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا
بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا.
Artinya: “Apabila terjadi pertentangan antara dua mafsadat
(kerusakan), diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya di antara keduanya
itu, dengan dikerjakan yang lebih ringan di antara keduanya.”
Menjawab pertanyaan saudara, tentang
posisi isteri dalam menghadapi benturan dua kepentingan yakni antara
kepentingan organisasi dan kepentingan keluarga, dapat disarankan:
Pertama,
usahakan dua kepentingan itu tetap berjalan tanpa mengorbankan salah satu
kepentingan. Misalnya jika kegiatan organisasi yang sifatnya rutin bersamaan
dengan kepentingan keluarga yang juga sifatnya rutin, hendaklah kegiatan
organisasi digeser sehingga tidak bersamaan waktu dengan kegiatan keluarga.
Kedua,
jika kegiatan organisasi bersifat insidental --karena ada kepentingan yang
lebih besar atau mendadak-- diprioritaskan kepentingan organisasi dari pada
kepentingan keluarga, sepanjang kepentingan keluarga tidak termasuk kepentingan
yang pokok, misalnya dengan menggeser waktu bagi kepentingan keluarga. Dalam hal ini hendaknya isteri minta
ijin atau memberi tahu kepada suami. Dalam pada itu suami hendaknya memahami
kepentingan organisasi (umat) adalah merupakan tuntutan yang dihukumi dengan fardlu
kifayah yang akan mengakibatkan berdosa kepada umat Islam setempat
--termasuk dirinya-- jika tidak ada yang melaksanakan tugas tersebut. Suami
yang shalih yang memiliki kesadaran akan tanggung jawab umat sebagai kewajiban fardlu
kifayah, --dengan baik sangka-- suami akan dengan ikhlas mengijinkan bahkan
memberi dorongan kepada isterinya.
Ketiga, jika kepentingan keluarga bersifat insidental,
--karena ada kepentingan yang lebih besar atau yang mendadak-- diprioritaskan
dari pada kegiatan organisasi yang sifatnya rutin.
Keempat, jika benturan itu antara kepentingan keluarga dan
kepentingan organisasi yang keduanya bersifat insidental, maka kembalikan
kepada qa’idah fiqhiyyah di atas, yakni dengan memprioritaskan melaksanakan
kegiatan yang lebih kecil kerugiannya atau dengan kata lain dengan melaksanakan
yang lebih besar manfaatnya.
Yang
dikemukakan di sini adalah sekedar contoh, kami yakin masih banyak kiat lain
yang dapat dipilih untuk mecari solusi dari problem ini.
Sebagai penutup, perlu kami
informasikan bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah telah sejak lama menerbitkan
buku Adabul Mar’ah fil Islam, yang merupakan hasil Muktamar Tarjih ke XX di
Garut tahun 1976. Oleh sebab itu, sebagai sarana menambah wawasan dan
meningkatkan ilmu, kami sarankan saudara untuk membaca buku tersebut.
Wallahu a’lam bish shawab.
*dw)