HUTANG ORANG YANG
MENINGGAL DUNIA
DAN DASAR HUKUM
SHALAT FIDYAH
Pertanyaan Dari:
Yel Hidayati,
Mahasiswi Jurusan
Matematika Universitas Muhammadiyah Bengkulu
(disidangkan pada Jum’at 2 Muharram 1429 H / 11
Januari 2008 M)
Pertanyaan:
1. Kebiasaan masyarakat Kota Bengkulu
setiap ada oramg meninggal dunia, sebelum mayat dimandikan, salah seorang
keluarganya mengumumkan sebagai berikut: “Semua hutang si mayat kami ambil
alih”. Maksudnya agar mayat tersebut bebas dari hutang. Apakah boleh
demikian?
2. Di
desa saya sudah menjadi kewajiban kalau ada yang meninggal dunia, setelah mayat
dikebumikan, pada malam pertama sampai dengan malam ketiga diadakan shalat
fidyah. Apakah ada dasarnya?
Jawaban:
1. Membayar
atau melunasi hutang adalah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang
yang berhutang. Bahkan Islam mengajarkan bagi orang yang sudah mampu untuk
melunasi hutang, agar sesegera mungkin hutangnya dilunasi. Menunda-nunda
pembayaran hutang bagi orang yang telah memiliki kemampuan untuk melunasi
dikategorikan sebagai sebuah kedzaliman. Dalam hadits diterangkan:
عَنْ
هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطْلُ الْغَنِيِّ
ظُلْمٌ. [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan
dari Hamam ibn Munabbih, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah ra, berkata:
Rasulullah saw bersabda: Menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu
adalah suatu kedzaliman.” [HR. al-Bukhari]
Jika orang yang berhutang sampai
meninggal dunia belum melunasi hutangnya, dan ia meninggalkan harta waris, maka
untuk pelunasan hutang diambil dari harta warisnya sebelum dibagikan kepada
ahli warisnya.
Dalam al-Qur’an dijelaskan:
....`ÏB
Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qã !$pkÍ5 ÷rr&
Aûøïy 3
Artinya: “...
(Pembagian-pembagian warisan tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” [QS. an-Nisa' (4): 11]
Dalam pada itu mengambil alih
tanggung jawab orang yang berhutang yang tidak mampu membayar hutangnya adalah
merupakan perbuatan yang dibenarkan dan bahkan merupakan perbuatan yang
terpuji, termasuk dalam hal ini membayar hutang orang yang tidak mampu membayar
hutang sampai ia meninggal dunia. Perbuatan ini merupakan salah satu
bentuk tolong menolong dalam kebajikan.
Allah
berfirman:
(#qçRur$yès?ur
n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur
(
wur
(#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
[QS. al-Maidah (5): 2]
Dalam hadits
diterangkan:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا
نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ
عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ
مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ فِي عَوْنِ
الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah
saw bersabda: Barangsiapa melapangkan seorang mukmin dari suatu kesusahan di
dunia, maka Allah akan melapangkannya dari kesusahan pada hari kiamat;
barangsiapa yang memudahkan bagi orang yang sedang mendapakan suatu kesulitan,
Allah akan memudahkan orang itu di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa yang
menutup cela seorang muslim, Allah akan menutup kesalahannya di dunia dan di
akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong
saudaranya.” [HR. Muslim]
عَنْ
سَلَمَةَ بْنِ اْلأَكْوَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ
عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا لاَ فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ
أُخْرَى فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا نَعَمْ قَالَ صَلُّوا عَلَى
صَاحِبِكُمْ قَالَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللهِ فَصَلَّى
عَلَيْهِ. [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari
Salmah Ibn al-Akwa’, bahwa kepada Nabi saw dihadapkan jenazah seseorang untuk
dishalatkan. Nabi bertanya: Apakah jenazah ini mempunyai hutang? Mereka (para
shahabat) menjawab: Tidak. Kemudian Nabi saw menyalatkannya. Setelah itu kepada
Nabi saw dihadapkan jenazah yang lain. Nabi saw bertanya: Apakah jenazah ini
mempunyai hutang? Mereka menjawab: Ya. Kemudian Nabi saw memerintahkan kepada
para shahabat: Shalatkanlah jenazah temanmu ini. Abu Qatadah berkata: Wahai
Rasulullah, saya yang menanggung hutangnya. Kemudian Nabi menyalatkan jenazah
itu.” [HR. al-Bukhari]
Dari hadits
terakhir, di samping diperoleh pelajaran bahwa seseorang dibenarkan menanggung
hutang dari orang yang telah meninggal dunia, sesungguhnya juga terkandung
pelajaran bahwa agar seseorang berusaha semaksimal mungkin untuk segera
melunasi hutangnya, sehingga jangan sampai meninggal dunia masih mempunyai
hutang.
Berdasarkan
ayat dan hadits yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa:
a.
Orang yang berhutang wajib melunasi hutangnya.
b.
Hendaknya seseorang yang berhutang, berusaha semaksimal
dan secepatnya untuk dapat melunasi hutangnya.
c.
Islam tidak membenarkan menunda-nunda pembayaran hutang
bagi orang yang telah memiliki kemampuan untuk melunasi hutangnya.
d.
Bagi orang yang berhutang dan sampai akhir hayatnya
hutangnya belum dilunasi, maka untuk pembayaran hutangnya diambil dari harta
warisnya sebelum dibagi kepada ahli warisnya.
e.
Islam mengajarkan dan menganjurkan agar menolong orang
yang dalam keadaan kesulitan termasuk kesulitan dalam membayar hutang.
f.
Islam membenarkan dan menganjurkan seseorang menanggung
hutang orang lain yang tidak mampu membayar hutangnya, apalagi jika orang yang
berhutang itu tidak dapat melunasi hutangnya sampai dengan meninggal dunia.
Dengan
keterangan di atas, maka kebiasaan yang terjadi di Kota Bengkulu sebagaimana
yang saudara tanyakan dapat dibenarkan dalam ajaran Islam, hanya saja hendaknya
diperhatikan butir-butir aturan agama sehubungan dengan pembayaran hutang
sebagaimana yang telah disebutkan. Perlu untuk disampaikan pula hendaknya
kebiasaan pengambilalihan tanggung jawab hutang orang yang meninggal dunia yang
terjadi di kota saudara tersebut bukan hanya sekedar formalitas atau basa-basi,
tapi orang yang mengambil alih hutang tersebut betul-betul melaksanakan
kesanggupannya.
2. Sejauh
kami melakukan penelitian terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits, tidak
atau belum dapat kami ketemukan dasar hukum bagi shalat fidyah yang
saudara tanyakan.
Dalam sebuah
hadits diterangkan:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ
رَدٌّ [رَوَاهُ البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]
Artinya: “Diriwayatkan
dari’Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang berbuat
dalam urusan agama kami ini (ibadah,) yang tidak terdapat di dalamnya (tuntunan
dari agama), maka perbuatan itu tertolak (tidak diterima).” [HR. al-Bukhari
dan Muslim dengan lafadz dari al-Bukhari]
Dalam qa’idah
fiqhiyyah disebutkan:
اْلأَصْلُ فَي اْلعِبَادَةِ اْلبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُومَ
الدَّلِيلُ عَلَى اْلأَمْرِ.
Artinya: “Pada dasarnya dalam bidang ibadah tidak boleh dilakukan
sampai adanya dalil yang memerintahkan.”
Maka shalat
fidyah yang saudara katakan menjadi kewajiban untuk dilaksanakan pada malam
pertama sampai dengan malam ketiga setelah jenazah dikebumikan, tidak
dibenarkan untuk dilakukan.
Sekedar
tambahan, bahwa fidyah dalam ajaran Islam adalah kewajiban bagi orang yang
meninggalkan puasa Ramadan karena udzur, untuk memberi makan kepada seorang
fakir miskin sebanyak satu mud untuk setiap hari tidak berpuasa.
Wallahu a’lam. *dw)