HUKUM TENTANG
JENGGOT DAN CADAR
Pertanyaan dari:
H.
Syamsul Bahri, BA., KTAM. 1031721,
Jl. Pattimura Gg. Dame Wek
IV, Padangsidempuan
(disidangkan
pada Jum’at, 10 Rajab 1430 H / 3 Juli 2009 M)
Pertanyaan:
Assalamualaikum Wr. Wb
1. Mohon dijelaskan hukumnya cadar dan
jenggot menurut Al-Qur’an dan Hadits
2.
Semua istri Nabi Muhammad pakai cadar
3. Orang tidak pakai cadar dan jenggot =
ingkar sunnah
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jawaban:
1.Masalah Jenggot
Jenggot adalah
rambut yang tumbuh menjulur ke bawah pada dagu dan pipi manusia serta lazimnya
ini dimiliki oleh kaum lelaki. Di kalangan bangsa tertentu, seperti bangsa Arab
dan India, memelihara jenggot hingga terurai panjang merupakan suatu tradisi
yang menandakan kebanggaan, kemuliaan dan keperkasaan lelaki yang
memeliharanya. Namun di kalangan bangsa lain, memelihara jenggot bukan menjadi
suatu tradisi atau kelaziman.
Dalam Islam,
terkait dengan masalah jenggot ini, Rasulullah saw bersabda:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَالِفُوْا اْلمُشْرِكِيْنَ، وَوَفِّرُوْا
الِّلْحىٰ وَأَحِفُّوْا الشَّوَارِبَ . [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Telah menceritakan
pada kami Muhammad ibn Minhal, telah menceritakan pada kami Yazid ibn Zurai‘,
telah menceritakan pada kami Umar bin Muhammad bin Zaid dari Nafi’ (ajudan Ibnu
Umar) dari Ibnu Umar dari Nabi saw yang bersabda: “Berbedalah kamu (jangan
menyamai) dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot, dan cukurlah kumis.”
[HR. al-Bukhari dan Muslim]
أَخْبَرَنِي
الْعَلاَءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ يَعْقُوبَ ـ مَوْلَى الْحُرَقَةِ ـ، عَنْ
أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله : جُزُّوا
الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَىٰ. خَالِفُوا الْمَجُوسَ. [رواه مسلم]
Artinya: “Telah mengkabarkan
padaku Ala’ bin Abdirahman bin Yakub –ajudan al-Hurakah- dari ayahnya, dari Abu
Hurairah berkata, bersabda Rasulullah:“Cukurlah kumis, peliharalah jenggot,
berbedalah (jangan menyamai) orang-orang Majusi.” [HR. Muslim]
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ: عَشْرٌ
مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ،
وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ الأَظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَنَتْفُ
الإِبِطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdilah bin Zubair,
diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sepuluh hal
yang termasuk fitrah: mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak,
istinsyaq (memasukkan air ke hidung), memotong kuku, mencuci sela-sela jari,
mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan menghemat air.” [HR.
Muslim]
Dari riwayat
di atas dapat disimpulkan bahwa kita diperintahkan untuk memelihara jenggot dan
mencukur kumis. Demikian diperintahkan oleh Rasul agar kita berbeda dan tidak
menyamai orang-orang musyrik -termasuk Majusi, yaitu orang-orang yang menyembah
api- di mana mereka suka dan biasa mencukur jenggot bahkan hingga habis.
Sabda Nabi saw:
أَخْبَرَنَا
حَسَّانُ بْنُ عَطِيِّةَ عَنِْ أَبِي مُنِيْبٍ الْجُرَشِيِّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ
فَهُوَ مِنْهُمْ. [رواه أبو داود]
Artinya: “Telah mengkabarkan pada kami Hassan bin
Athiyah dari Abi Munib al-Jurasyi dari Ibnu Umar berkata, bersabda Rasulullah saw:
“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari (golongan) mereka.” [HR.
Abu Dawud]
Selain itu,
perintah Rasulullah saw ini banyak mengandung unsur pendidikan bagi kaum muslim
agar mereka mempunyai kepribadian tersendiri, baik lahir maupun batin dari kaum
yang lain seperti kaum kafir-musyrik. Perbedaan secara lahir akan mewakili
identitas suatu kaum, di mana dalam hal ini jenggot menjadi identitas atau ciri
khas kaum muslim. Apalagi banyak riwayat
seputar hal ini dimasukkan oleh para ulama Hadits dalam bab tersendiri, yaitu
bab fitrah yang dimiliki oleh manusia. Mencukur jenggot sama halnya dengan
menentang fitrah dan menyerupai perempuan. Seperti yang ditekankan di atas,
bahwa jenggot menandakan kesempurnaan lelaki dan membedakannya dari jenis yang
lain.
Namun, bukan
berarti kita tidak boleh untuk mencukur dan merapikan rambut jenggot apabila
sudah terurai panjang, terlihat tidak indah dan rapi, dan bahkan bisa
menakutkan atau menjijikan siapa yang melihatnya. Oleh sebab itu jenggot yang
demikian dibolehkan untuk dicukur atau
dirapikan.
Sebuah riwayat
dari Imam at-Tirmidzi yang ia nilai gharib, di mana Nabi saw pernah
memangkas sebagian jenggotnya hingga terlihat rata dan rapi.
أَخْبَرَنَا
عُمَرُ بْنُ هَارُونَ، عَنْ أُسَامَةَ بن زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ
أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ: أَنَّ النَّبِيِّ كَانَ يَأْخُدُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ
عَرْضِهَا وَطُولِهَا . [رواه الترمذي]
Artinya: “Telah mengkabarkan
pada kami Umar bin Harun dari Usamah bin Zaid dari Amru bin Syuaib dari ayahnya
dari kakeknya, bahwasannya Nabi saw memangkas sebagian jenggotnya hingga
panjangnya sama.” [HR. at-Tirmidzi]
Menanggapi
masalah ini para ulama, baik mutaqaddimin (terdahulu) maupun muta’akhirin
(belakangan) banyak yang berbeda pendapat. Ulama kalangan Hanafi dan Hanbali
dengan tegas mengatakan bahwa haram hukumnya seseorang memotong jenggotnya
hingga habis, bahkan ia dituntut membayar diyat (tebusan). Sedang ulama
Syafi’i dan Maliki mengatakan bahwa hukumnya sebatas makruh saja. Imam Nawawi
yang mewakili mazhab Syafi’i mengatakan, “mencukur, memotong, dan membakar
jenggot adalah makruh. Sedangkan memangkas kelebihan dan merapikannya adalah
perbuatan yang baik. Membiarkannya panjang selama satu bulan adalah makruh,
seperti makruhnya memotong dan mengguntingnya.” (Syarh Shahih Muslim:
vol. 3: 151). Selanjutnya para ulama juga masih berselisih mengenai ukuran
panjang jenggot yang harus dipotong,
meski terdapat sebuah riwayat
yang menceritakan bahwa Abu Hurairah dan Abdulah bin Umar biasa memangkas
jenggot bila panjangnya sudah melebihi satu genggaman tangan. Namun, sebagian
ulama tidak menetapkan panjang tertentu, akan tetapi cukup dipotong sepantasnya.
Hasan al-Bashri, seorang tabi’in
biasa memangkas dan mencukur jenggotnya, hingga terlihat pantas dan rapi.
Dari keterangan
di atas dapat disimpulkan bahwa memangkas atau memotong sebagian jenggot
hukumnya adalah mubah. Sedang mencukurnya hingga habis hukumnya adalah makruh,
namun tidak sampai pada derajat haram. Adapun memeliharanya adalah sunnah.
2. Masalah cadar
Tentang
masalah cadar, telah dicantumkan pembahasannya dalam Buku Tanya Jawab Agama
Islam yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, jilid 4 halaman 238, Bab
Sekitar Masalah Wanita.
Ringkasnya,
cadar tidak ada dasar hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Yang
diperintahkan oleh syariat Islam bagi wanita adalah memakai jilbab. Allah swt berfirman dalam surat an-Nur (24)
ayat 31:
@è%ur
ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9
z`ôÒàÒøót
ô`ÏB
£`ÏdÌ»|Áö/r&
z`ôàxÿøtsur
£`ßgy_rãèù
wur
úïÏö7ã
£`ßgtFt^Î
wÎ)
$tB
tygsß
$yg÷YÏB
(
tûøóÎôØuø9ur
£`ÏdÌßJè¿2
4n?tã
£`ÍkÍ5qãã_
َ.......
Artinya: “Katakanlah kepada
wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya ...,”
wÎ)
$tB
tygsß
$yg÷YÏB
(
“kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”
Ayat ini menurut penafsiran Jumhur ulama, bahwa yang
boleh nampak dari perempuan adalah kedua tangan dan wajahnya sebagaimana pendapat Ibnu Abbas ra. dan Ibnu
Umar ra. (Tafsir Ibnu Katsir vol. 6:51)
Potongan ayat di atas juga dijelaskan oleh hadis riwayat dari Aisyah ra:
حَدَّثَنَا
يَعْقُوبُ بنُ كَعْبٍ الأَنْطَاكِيُّ وَ مُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِيُّ قَالاَ
أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ خَالِدٍ بْنِ
دُرَيْكٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ
إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا
إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ . قَالَ أَبُو دَاوُدُ
هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهَا . [رواه أَبُو دَاوُدَ]
Artinya:
“Telah menceritakan pada kami Yakub bin Ka’ab al-Anthaki dan Muammal bin
al-Fadhl bin al-Harani keduanya berkata: Telah mengkabarkan pada kami Walid
dari Said bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari Aisyah bahwa
Asma’ binti Abi Bakar menemui Rasulullah saw dengan memakai pakaian tipis. Maka
Rasulullah saw berpaling darinya dan berkata: “Wahai Asma’, sesungguhnya
seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari
dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.”
[HR. Abu Dawud]
Hadits ini
dikategorikan mursal oleh Imam Abu Dawud sendiri setelah akhir
menuliskan riwayatnya dikarenakan terdapat rawi yang bernama Khalid bin Duraik,
yang dinilai oleh para ulama kritikus hadits tidak pernah bertemu dengan Aisyah
ra dan Said bin Basyir yang dinilai dhaif (lemah) oleh para ulama
kritikus Hadits. Namun ia mempunyai
penguat yang ternilai mursal shahih dari jalur-jalur lainnya yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud sendiri dalam al-Marasil (no. 460, cet. Dar
al-Jinan, Beirut) dari Qatadah di mana dalam jalur sanadnya tidak terdapat
Khalid bin Duraik dan Said bin Basyir. Riwayat tersebut adalah:
حَدَّثَنَا
ابْنُ بَشَارٍ ثَنَا أَبُو دَاوُدُ ثَنَا هِشَامُ عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: إنَّ اْلجَارِيَةَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تََصْلُحْ أن يُرَي
مِنْهَا إِلاوَجْهِهَا وَيَدَاهَا إِلَى اْلمَفْصِلِ. [رواه أبو داود]
Artinya: “Telah menceritakan
pada kami Ibnu Basyar, telah menceritakan pada kami Abu Dawud, telah
menceritakan pada kami Hisyam dari Qatadah bahwasannya Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya seorang perempuan jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas
terlihat dari dirinya kecuali wajahnya dan kedua (telapak) tangannya sampai tulang
pergelangan tangan (sendi).” [HR. Abu Dawud]
Juga jalur
lain seperti dari ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir (24/143/378) dan al-Ausath
(2/230), al-Baihaqi (2/226), dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya
(4/283).
Selain itu
banyak riwayat-riwayat lain yang memperlihatkan bahwa banyak dari para shahabiyat
(sahabat perempuan) yang tidak memakai cadar atau menutupi wajah dan tangan
mereka. Seperti kisah Bilal melihat perempuan yang bertanya kepada Nabi saw di
mana diceritakan bahwa pipi perempuan tersebut merah kehitam-hitaman (saf’a
al-khaddain).
Terkait dengan
pakaian perempuan ketika shalat, sebuah riwayat dari Aisyah ra menjelaskan
bahwa ketika shalat para perempuan pada zaman Nabi saw memakai kain yang
menyelimuti sekujur tubuhnya (mutallifi’at fi-murutihinna).
حَدَّثَنَا أَبُو اْليَمَانِ
قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ
قَالَتْ: لَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي
الفَجْرَ فيََشْهَدُ مَعَهُ نِسَاءٌ مِنَ اْلمُؤْمِنَاتِ مُتَلِّفِعَاتٍ في مُرُوْطِهِنَّ،
ثُمَّ يَرجِعْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ مَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ. وَفِى رِوَايَةٍ أَخَرٍ: لاَ يُعْرَفْنَ مِنَ الغَلَسِ. [متفق
عليه]
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Abu al-Yaman,
telah memberitahukan pada kami Syu’aib dari az-Zuhri, telah mengkabarkan padaku
Urwah bahwasannya Aisyah berkata: “Pada suatu ketika Rasulullah saw shalat
subuh, beberapa perempuan mukmin (turut shalat berjamaah dengan Nabi saw).
Mereka shalat berselimut kain. Setelah selesai shalat, mereka kembali ke rumah
masing-masing dan tidak seorangpun yang mengenal mereka.” Dalam riwayat lain:
“Kami tidak bisa mengenal mereka (para perempuan) karena gelap.” [Muttafaq
‘alaihi]
Imam asy-Syaukani memahami
hadits ini bahwa para sahabat perempuan di antaranya Aisyah ra tidak dapat
mengenali satu sama lain sepulang dari shalat subuh karena memang keadaan masih
gelap dan bukan karena memakai cadar, karena memang saat itu wajah para
perempuan biasa terbuka.
Mengenai
pertanyaan, apakah jika tidak memelihara jenggot dan memakai cadar termasuk
ingkar sunnah, hemat kami tidak. Karena yang dimaksud dengan ingkar sunnah
adalah mereka orang-orang yang tidak mempercayai sunnah Nabi dan hanya
mengamalkan apa yang termaktub dalam al-Qur’an saja.
Wallahu
a'lam. *mr)