BADAL
HAJI
Pertanyaan
dari:
Soekamto,
Jalan Rasamala Utara III/74, Perumnas Banyumanik Semarang
(disidangkan pada hari Jum’at, 11 Safar 1430 H / 6
Februari 2008 M)
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Pengasuh “Rubrik
Tanya Jawab Agama” yang terhormat, izinkanlah saya menyampaikan pertanyaan
masalah badal haji. Pertanyaannya adalah:
1. Bagaimana hukum badal haji tersebut?
2. Siapakah yang berhak menjadi badal haji bagi seseorang?
Demikian pertanyaan
saya. Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
Untuk menjawab pertanyaan
saudara, perlu kami sampaikan beberapa hal sebagai berikut;
1. Apa yang saudara tanyakan sebenarnya
jawabannya bisa dibaca pada buku Tuntunan
Manasik Haji Menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah yang disusun oleh Majelis
Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, diterbitkan oleh Pimpinan Pusat
Aisyiyah bekerja sama dengan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah tahun 2007, halaman 170 – 181. Oleh karena itu kami akan meringkas
jawabannya.
2. Badal Haji adalah ibadah haji yang
dilaksanakan oleh seseorang atas nama orang lain yang telah memiliki kewajiban
untuk menunaikan ibadah haji. Namun orang tersebut berhalangan sehingga tidak
dapat melaksanakannya sendiri, maka pelaksanaan ibadah haji tersebut diserahkan
kepada orang lain.
3. Badal haji ini menjadi masalah mengingat
ada beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa seseorang hanya akan
mendapat pahala dari hasil usahanya sendiri. Hal ini ditegaskan dalam beberapa surat al-Qur’an
yaitu;
a.
Surat
an-Najm (53): 38- 39:
أَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى،
وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَاسَعَى. [النجم، 53: 38-39]
Artinya: “(yaitu) bahwasanya seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” [QS an-Najm (53): 38-39]
b.
Surat
Yasin (36): 54:
فَاْليَوْمَ لاَ تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا
وَلاَ تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَاكُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ. [يس، 36: 54]
Artinya:“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu
tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.” [QS. Yasin
(36): 54]
Dan ada juga hadits Nabi saw yang menerangkan bahwa
seorang anak dapat melaksanakan ibadah haji untuk orang tuanya, atau seseorang
dapat melaksanakan haji untuk saudaranya. Hal ini ditegaskan dalam beberapa
hadits, yaitu:
a.
Hadits
riwayat Muslim sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ
عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. [رواه مسلم]
Artinya:“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa
Rasulullah saw bersabda: Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amal
perbuatannya kecuali tiga hal, (yaitu) shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat
dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.” [HR. Muslim]
b.
Hadits
riwayat al-Bukhari dari sahabat Ibnu Abbas sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ أَتَى
رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ إِنَّ أُخْتِي
قَدْ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ وَإِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ قَالَ نَعَمْ
قَالَ فَاقْضِ اللهَ فَهُوَ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ. [رواه البخارى]
Atinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas
ra, ia berkata: Seseorang laki-laki mendatangi Nabi saw dan ia berkata: ‘Saudara
perempuan saya bernadzar untuk berhaji, lalu ia meninggal dunia.’ Kemudian Nabi
saw bersabda: ‘Bagaimana kalau saudara perempuanmu itu berhutang? Apakah engkau
melunasinya?’ Laki-laki itu berkata: ‘Ya.’ Nabi saw bersabda: ‘Lunasilah hutang
kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih berhak pelunasannya’.” [HR.
al-Bukhari]
4. Di kalangan para ulama ada perbedaan
pendapat dalam memahami ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi saw di atas. Ada
sebagian yang berpendapat bahwa hadits-hadits (yang bersifat dhanni)
tersebut bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an (yang bersifat qath’i).
Oleh karena itu hadits-hadits tersebut tidak dapat diamalkan (ghair ma’mul
bih). Menurut pendapat ini badal haji tidak boleh dilakukan. Adapun
sebagian lagi berpendapat bahwa hadits ahad atau hadits mutawatir dapat
mentakhsis (mengkhususkan/mengecualikan) ayat-ayat al-Qur’an. Menurut pendapat
ini, anak atau orang lain dapat melaksanakan haji atas nama orang tua atau
orang lain.
5. Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
berpendapat bahwa hadits ahad dapat mentakhsis ayat al-Qur’an, yakni sebagai bayan
(penjelas). Oleh karena itu, dalam masalah yang saudara tanyakan kami berpendapat
bahwa hadits riwayat imam Muslim yang menyatakan: “bahwa apabila manusia
meninggal dunia putuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu
yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya”, mentakhsis
atau bayan terhadap surat an-Najm (53): 38-39 dan surat Yasin (36): 54.
Dengan demikian, kami berpendapat bahwa badal haji bagi seseorang yang telah
memenuhi kewajiban haji tetapi ia tidak dapat melaksanakannya karena udzur atau
karena telah meninggal dunia, dapat dilakukan oleh anaknya atau saudaranya yang
telah berhaji terlebih dahulu, seperti dijelaskan dalam Buku Tuntunan Manasik
Haji Menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah sebagaimana kami maksud di atas.
Wallahu a’lam bish-shawab. *A.56h)