HUKUM JUAL BELI DENGAN CARA KREDIT
Pertanyaan dari:
Pimpinan Cabang Muhammadiyah Moga
Pemalang Jawa Tengah
(disidangkan pada Jum’at, 19 Muharam 1430 H / 16
Januari 2009M)
Pertanyaan:
Apakah kredit
kendaraan bermotor diperbolehkan dalam Islam?
Jawaban:
Jual beli kredit merupakan suatu mekanisme
jual beli, yaitu jual beli dengan cara harga barang dibayarkan secara berkala
dalam jangka waktu yang disepakati. Dalam jual beli kredit, penjual harus
menyerahkan barang secara kontan, sedangkan pembeli membayar harga barang
secara bertahap dalam jumlah dan jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Harga
yang disepakati dalam jual beli kredit yang lazim berlaku adalah harga jual
lebih tinggi dari harga pasar yang sebenarnya jika barang tersebut dibayar
secara tunai, karena ada kepentingan penjual untuk menaikkan harga jual lebih
tinggi dengan sebab adanya penambahan jangka waktu pembayaran.
Ketentuan-ketentuan dalam jual
beli kredit antara lain adalah:
1.
Adanya kesepakatan antara penjual dan
pembeli tentang harga kredit dan jangka waktu pembayaran.
2.
Penjual dan pembeli harus menentukan
akad jual beli dari mekanisme yang ditawarkan, yaitu tunai atau kredit.
Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, Abu Dawud dan al-Baihaqi
disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوْ الرِّبَا. [رواه الترمذي وأبو داود والبيهقي]
Artinya:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa
menjual dua transaksi dalam satu transaksi, maka baginya kerugiannya atau
riba”. [HR. at-Tirmidzi, Abu Dawud dan al-Baihaqi]
Ulama menafsirkan, yang dimaksud dengan “dua akad
dalam satu transaksi”, misalnya, seseorang berkata: “Aku jual sepeda motor
ini, tunai seharga Rp 12.000.000,- kredit Rp 15.000.000,-”, kemudian
keduanya berpisah dari majelis akad tanpa ada kesepakatan pembelian, tunai atau
kredit. Maka akad jual beli ini batal adanya. Adapun ketika pembeli menentukan
satu pilihan dari dua opsi yang ditawarkan, maka jual beli itu sah, dan berlaku
atas harga yang disepakati.
3.
Ketentuan jual beli kredit dalam syara’
hanya ada dua pihak yang terkait, yakni pihak yang memberikan kredit (penjual)
dan yang menerima kredit (pembeli). Dengan demikian, jual beli kredit yang di
dalamnya terdapat tiga pihak yang terkait, yakni pembeli, lising (bank) dan
penjual tidak diperbolehkan oleh syara’. Misalnya, seorang pembeli datang
kepada dealer sepeda motor (penjual) untuk membeli sebuah sepeda motor secara
kredit, kemudian keduanya bersepakat bahwa pembelian dilakukan secara kredit
dengan jumlah dan jangka waktu tertentu. Tetapi ternyata lising (bank) melunasi
terlebih dahulu pada dealer. Maka, sebenarnya yang terjadi adalah pembeli membayar
cicilan kepada pihak lising (bank), bukan pada penjual. Hal yang demikian
bukanlah transaksi jual beli kredit, tetapi transaksi hutang piutang yang di
larang oleh syara’.
4.
Dalam jual beli kredit, ketika pembeli
telah menentukan pilihan atas opsi harga kredit yang ditawarkan, maka harga itu
berlaku secara mutlak, tidak bisa berubah.
Baik pembeli mampu melunasi tepat waktu, ataupun terjadi penundaan.
Misalnya, jika pembeli sepakat dengan harga Rp 15.000.000,- dalam jangka waktu
empat tahun, namun akhirnya ia mampu melunasi dalam jangka waktu tiga tahun,
maka ia tetap membayar Rp 15.000.000,-. Begitu pula sebaliknya, harga kredit
tidak mengalami penurunan jika pembayaran dilakukan lebih cepat dari jadwal
yang ditentukan.
5.
Jika suatu saat pembeli tidak sanggup
untuk melanjutkan pembayaran angsuran, maka pembeli berhak untuk mengajukan
pemutusan akad kredit. Dengan demikian, pembeli berkewajiban mengembalikan
barang yang dikredit, dan penjual harus mengembalikan uang angsuran yang telah
dibayarkan oleh pembeli kepada penjual.
Empat ulama madzhab dan mayoritas
ulama fikih kontemporer mengakui keabsahan praktek jual beli kredit dengan
harga jual lebih tinggi dari harga tunai. Di antara landasan syar’i yang dijadikan
dasar memperbolehkan praktek akad jual beli kredit adalah sebagai berikut:
1.
Hukum asal dalam muamalah adalah mubah,
kecuali terdapat nash shahih dan sharih yang melarang dan
mengharamkannya. Berbeda dengan ibadah mahdhah,
hukum asalnya adalah haram kecuali ada nash yang memerintahkan untuk
melakukanya. Dengan demikian, tidak perlu mempertanyakan dalil yang mengakui
keabsahan sebuah transaksi muamalah, sepanjang tidak terdapat dalil yang
melarangnya, maka transaksi muamalah sah dan halal adanya.
2.
Keumuman nash al-Qur’an surat al-Baqarah
(2) ayat 275:
... وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا. [البقرة: 2:275]
Artinya:
“... padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” [QS.
al-Baqarah (2): 275]
Dalam ayat ini, Allah mempertegas keabsahan jual
beli secara umum, kehalalan ini mencakup semua jenis jual beli, termasuk di
dalamnya jual beli kredit, sekaligus menolak dan melarang konsep ribawi.
3.
Adanya unsur tolong-menolong dalam transaksi
jual beli kredit, dikarenakan pembeli memungkinkan untuk mendapatkan barang
yang dibutuhkan tanpa harus langsung membayarnya. Prinsip tolong-menolong ini
sesuai dengan semangat al-Qur’an surat al-Maidah (5) ayat 2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ
تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ. [المآئدة: 5: 2]
Artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”
[QS. al-Maidah (5): 2]
4.
Kepentingan penjual untuk menaikkan
harga jual lebih tinggi dari harga tunai, dengan sebab adanya penambahan jangka
waktu pembayaran adalah sebagai bagian dari harga jual tersebut, bukan sebagai
kompensasi waktu semata yang tergolong riba. Dan sudah menjadi hal yang lumrah,
bahwa sebuah komoditas mempunyai nilai yang berbeda dan bisa berubah nilainya
dari masa ke masa. Di antara jumhur ulama fiqih yang berpendapat demikian
adalah al-Ahnaf, para pengikut Imam asy-Syafi’i, Zaid bin Ali dan Muayyid
Billah.
5.
Transaksi muamalah dibangun atas asas
mashlahat. Syara’ datang untuk mempermudah urusan manusia dan meringankan beban
yang ditanggungnya. Syara’ juga tidak akan melarang bentuk transaksi kecuali
terdapat unsur kezaliman di dalamnya. Seperti riba, dhalim, penimbunan, penipuan
dan lainnya. Jual beli kredit akan menjadi mashlahat bagi kalangan masyarakat
menengah ke bawah, yang memungkinkan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan
dengan keterbatasan dana yang dimiliki.
Dengan demikian, jual beli
komoditas dengan cara kredit, yang termasuk di dalamnya kendaraan bermotor,
bukanlah transaksi hutang piutang atau pun transaksi atas barang ribawi, namun
ia adalah jual beli murni yang keabsahannya diakui oleh syariat. Tentunya,
dengan ketentuan-ketentuan yang telah tersebut di atas.
Wallahu a’lam
bish-shawab. *putm)