SEPUTAR MASALAH
PERZINAAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
Pertanyaan Dari:
Ny. Fiametta di Bengkulu
(disidangkan pada Jum’at 25 Zulhijjah 1428 H /
4 Januari 2008 M
dan 9 Muharram 1429 H / 18 Januari 2008 M)
Pertanyaan:
1. Bagaimana menurut Hukum Islam,
hubungan anak yang terlahir hasil dari perzinahan terhadap ibu yang
melahirkannya dan terhadap pria yang berzinah dengan ibunya (menzinahi ibunya).
2. Jika pria dan perempuan yang berzinah
ini dinikahkan di saat perempuan tersebut dalam keadaan hamil kemudian bercerai,
apakah menurut Hukum Islam, pria itu mempunyai tanggung jawab atau tidak
terhadap biaya hidup anak yang lahir dari hasil zinah tersebut?
3.
Jika tidak
bercerai, apakah anak hasil zinah tersebut sama haknya dengan
anak-anak yang dilahirkan setelah pernikahan? Baik tentang nashab
(hubungan dengan pria tersebut), warisan, wali nikah dan seterusnya?
4.
Dalam surat An-Nur ayat 3; “laki-laki yang berzinah
tidak mengawini melainkan perempuan yang berzinah atau perempuan yang musyrik
dan perempuan yang berzinah tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzinah atau laki-laki yang musyrik dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin.
Pertanyaan: Bagaimana kalau perempuan mukmin
(perempuan baik-baik) itu dinikahi oleh seorang pria yang pernah berzinah
(pezinah) sedangkan dia tidak tahu bahwa pria itu pernah berzinah dan
menikah dengan perempuan yang dizinahinya dan kemudian bercerai, apakah
pernikahan itu haram? Karena pada waktu menikah dan tercantum dalam buku nikah,
sang suami mengaku masih bujangan? Apakah perkawinan tersebut sebaiknya
diteruskan atau harus bercerai? Dan apakah perempuan tersebut (sang
isteri) berdosa atau tidak menurut hukum Islam?
Demikian pertanyaan dari saya, mohon untuk dijawab
menurut hukum Islam, terima kasih atas penjelasannya.
Jawaban:
Berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saudari:
1. Anak itu dinasabkan kepada ibu yang
melahirkannya, bukan kepada pria yang menzinai ibunya. Ini karena anak tersebut
hasil perzinaan dan lahir di luar perkawinan yang sah, dan perzinaan tidak
menimbulkan dampak penetapan nasab anak tersebut kepada laki-laki yang menzinai
ibunya, menurut kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama. Alasannya, nasab itu
adalah kenikmatan yang dikurniakan Allah. Dengan ditetapkannya nasab itu
seorang ayah wajib menafkahi, mendidik, menjadi wali nikah, mewariskan dan
lainnya. Oleh karena nasab itu adalah kenikmatan, maka ia tidak boleh
didapatkan dengan sesuatu yang diharamkan.
Dalil yang mendasari
hal tersebut adalah hadis berikut:
قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اْلوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ
اْلحَجَرُ. [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Anak
itu dinasabkan kepada yang memiliki tempat tidur (laki-laki yang menikahi
ibunya), dan bagi yang melakukan perzinaan (hukuman) batu (rajam sampai mati)”.
[HR. al-Bukhari dan Muslim]
Hadis ini menunjukkan bahwa hanya anak yang lahir dari perkawinan sah
saja yang dinasabkan kepada ayahnya yang mempunyai tempat tidur (maksudnya yang
menikahi ibunya). Adapun zina itu tidak layak untuk dijadikan sebab menetapkan
nasab, bahkan pezina itu harus mendapatkan hukuman rajam.
Pendapat yang
menasabkan anak hasil zina kepada ibunya ini juga sesuai dengan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 100 yang berbunyi: “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya” dan Undang-Undang
(UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 43 ayat (1) yang berbunyi: “Anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
2. Sebelum menjawab pertanyaan saudari
tentang pertanggungjawaban pria yang berzina terhadap anak hasil perzinaannya,
berikut ini diuraikan hukum menikahi perempuan yang sedang hamil:
a. Jika A (laki-laki) dan B (perempuan)
berzina lalu keduanya menikah ketika si B hamil, maka para ulama sepakat membolehkannya.
Hal ini sejalan pula dengan KHI pasal 53 ayat (1) yang berbunyi: “Seorang
wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya”
dan ayat (2) yang berbunyi: “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada
ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya”. Pernikahan
itu sah dan keduanya boleh melakukan hubungan kelamin layaknya suami istri.
Kemudian jika si B melahirkan anak
hasil perzinaan tersebut setelah 6 (enam) bulan dari pernikahan, maka anak
tersebut dinasabkan kepada si A. Alasannya ialah, tempo kehamilan itu
minimalnya adalah enam bulan menurut kesepakatan para ulama. Setelah itu si A
bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan anaknya itu seperti
nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan dan lainnya sama persis
dengan anak hasil pernikahan yang sah. Namun jika si B melahirkan anak hasil
zina tersebut sebelum 6 (enam) bulan dari pernikahannya dengan A, maka anak
tersebut dinasabkan kepada si B. Si A tetap bertanggung jawab atas nafkah,
pendidikan dan kesehatannya, karena ia adalah anak istrinya. Tapi dari segi
perwalian dan pewarisan, si A tidak berhak menjadi wali anak tersebut dan tidak
waris-mewarisi dengannya.
Perlu diketengahkan di sini bahwa menurut
peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, anak hasil zina yang lahir
sebelum 6 (enam) bulan tersebut tetap dapat dinasabkan kepada si A, karena anak
yang sah menurut KHI pasal 99 adalah: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah, b. Hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan
oleh istri tersebut. Demikian pula disebutkan
dalam UU No. 1/1974 pasal 42: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Besar kemungkinan, dalam KHI dan UU
No. 1/1974 ditetapkan demikian adalah demi kemaslahatan dan kebaikan anak
tersebut.
b. Jika A dan B dalam contoh di atas
berzina, lalu B yang sedang hamil menikah dengan C, bukan dengan A yang
menghamilinya. Hukum masalah ini diperselisihkan para ulama; ada yang
membolehkan dan ada yang melarang. Namun demikian kami cenderung untuk
membolehkannya, dengan alasan wanita hamil karena zina tidak mempunyai masa
iddah, sebagaimana wanita hamil yang diceraikan atau ditinggal mati oleh
suaminya. Setelah mereka menikah maka mereka boleh berhubungan badan layaknya
suami istri. Adapun kekhawatiran pendapat yang mengatakan tidak boleh
berhubungan badan supaya air mani dua orang laki-laki tidak tercampur dalam
rahim wanita tersebut adalah tidak sesuai dengan ilmu kedokteran karena hal itu
tidak mungkin terjadi setelah wanita itu hamil. Kemudian, jika anak itu lahir
maka ia tidak dinasabkan kepada si A maupun si C karena ia adalah hasil
perzinaan. Anak hasil perzinaan tersebut dinasabkan kepada ibunya yaitu B. Setelah
itu si C tetap bertanggung jawab atas nafkah, pendidikan dan kesehatan anak
tersebut, karena ia adalah anak istrinya. Namun dari segi perwalian dan
pewarisan, si C maupun si A tidak berhak menjadi wali anak tersebut dan tidak
waris-mewarisi dengannya.
Namun perlu diketengahkan di sini
bahwa menurut peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, anak hasil zina
tersebut dimungkinkan untuk dinasabkan kepada laki-laki yang menikahi ibunya
(si C), karena menurut KHI pasal 99 anak yang sah adalah: a. Anak yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, b. Hasil perbuatan suami
istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Demikian pula
disebutkan dalam UU No. 1/1974 pasal 42: “Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Besar kemungkinan,
dalam KHI dan UU No. 1/1974 ditetapkan demikian adalah demi kemaslahatan dan
kebaikan anak tersebut.
3. Jika anak hasil perzinaan itu telah
dinasabkan kepada pria yang menzinai ibunya karena pria tersebut telah menikahi
ibunya itu, lalu pria tersebut menceraikan ibunya itu, maka hubungan antara
pria dan anaknya itu tetap sebagai ayah dan anak dari segi nasab, nafkah,
pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan dan seterusnya. Ini karena
perceraian suami istri tidak mempunyai dampak dalam hubungan nasab seorang ayah
dengan anaknya.
4. Mengenai surat an-Nur ayat 3 dapat
kami jelaskan sebagai berikut: Para ulama tafsir menerangkan bahwa maksud ayat
tersebut adalah laki-laki dan perempuan yang menjadikan perzinaan sebagai
kebiasaan atau pekerjaan, itulah yang tidak boleh dan tidak layak untuk
menikahi atau dinikahi orang-orang yang beriman. Laki-laki mukmin tidak boleh
dan tidak pantas menikahi mereka, dan perempuan mukminah tidak boleh dan tidak
pantas dinikahi mereka. Adapun laki-laki dan perempuan yang pernah berzina dan
telah bertaubat, kemudian menikah dengan orang mukmin atau mukminah, hal itu
dibenarkan. Apabila sesudah pernikahan masih juga berbuat zina, maka kepada
pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan talak (untuk suami)
atau cerai gugat (untuk istri) dengan alasan zina, sesuai dengan KHI Pasal 116 j.o.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 9/1975 pasal 19 (a) yang berbunyi: “Perceraian
dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: Salah satu pihak berbuat zina
atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;”. Pengajuan permohonan talak atau cerai gugat tersebut ditujukan
kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal istri, sesuai dengan UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 66 ayat (1): “Seorang suami yang
beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada
Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak” j.o. KHI pasal
129 dan Pasal 73 ayat (1): “Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau
kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa izin tergugat” j.o. KHI pasal 132 ayat (1).
Selanjutnya kami
berpendapat pula bahwa, meskipun pernikahan seorang muslimah yang baik dengan
lelaki muslim yang pezina dan pernikahan seorang muslimah yang pezina dengan
lelaki muslim yang baik itu tercela dan tidak pantas, selagi orang yang berzina
tersebut belum bertaubat, namun pernikahan tersebut tetap sah, sesuai dengan ayat
berikut:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4
bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3
ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
Artinya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian* di antara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS.
an-Nur (24): 32]
*Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau
wanita-wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Dan sesuai dengan
hadis berikut:
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
لاَ يُحَرِّمُ اْلحَرَامُ اْلحَلاَلَ. [رواه البيهقي والدار قطني وابن ماجه]
Artinya:
“Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Yang
haram itu tidak mengharamkan yang halal.” [HR. al-Baihaqi, ad-Daruquthni
dan Ibn Majah]
Akan tetapi, seorang
laki-laki muslim haram menikahi seorang perempuan yang musyrikah, walaupun
musyrikah ini orang baik-baik (bukan pezina). Demikian pula seorang
laki-laki musyrik haram menikahi seorang perempuan muslimah, meskipun muslimah
ini orang yang suka berzina. Pernikahan tersebut semuanya tidak sah hukumnya,
berdasarkan firman Allah:
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4
×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3
wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4
Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3
y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# (
ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ (
ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
Artinya: “Dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” [QS. al-Baqarah (2): 221]
Demikian jawaban dari kami. Perlu kiranya
kami tegaskan di sini bahwa fatwa-fatwa terdahulu yang berkaitan dengan masalah
pernikahan wanita hamil dan nasab anak zina telah disempurnakan dengan fatwa
ini.
Wallahu a'lam bish-shawab. *mi-mzr)